Rabu, 23 September 2009

Perbuatan Iseng yang Membawa Derita


*Bambang Susanto, BA

Awas, jangan bergurau seperti ini,dapat menyebabkan gegar otak, kebutaan bahkan maut yang berujung pada kematian!

Entah, sudah yang beberapa kali korban kecelakaan yang sekaligus digunakan sebagai alat bergurau sesama teman ini terjadi. Pada hal akibat dari perbuatan iseng ini dapat mengakibatkan gangguan phisik seseorang sehingga akan mengganggu aktivitas seharinya. Tidak jarang pula sang korban harus menjalani rawat inap di rumah sakit selama beberapa hari , dan jika kebetulan nasibnya sial bisa-bisa mengalami cacat seumur hidup bahkan bila tidak ketulungan maut dapat merenggutnya.

Ironisnya kejadian kecil ini sering digunakan sebagai bahan tertawaan dalam kehidupan sehari-hari hingga pada adegan-adegan komedi di Teve. Akibatnya kenyataan seperti tersebut terulang dan terulang lagi, seperti yang dialami oleh murid saya ini.

Peristiwa ini betul-betul tidak saya duga. Saya, ketika suatu hari tepatnya 4 Nopember 1997, hari selasa pon, pada jam terakhir, sebagaimana biasanya di kelas IIIb, begitu juga di kelas-kelas tiga yang lain pada bulan-bulan ini para siswa mendapat materi pelajaran praktek mengetik. Perlu dimaklumi bahwa mesin ketik yang tersedia sangatlah terbatas, sehingga para siswa harus praktek bergantian. Bagi siswa yang tidak mendapatkan mesin ketik harus sabar menunggu. Hal ini sudah saya atur sedemikian rupa agar lebih mudah mengawasi, dan dalam proses penilaian.

Tetapi bagi murid saya yang satu ini memang bernasib kurang mujur. Saat itu ada salah satu mesin ketik yang agak rewel sehingga saya perlu memperbaikinya. Dalam ingatan saya terbetik pula kalau alat untuk memperbaiki mesin ketik tersebut tertinggal di kantor guru.

Tanpa ragu saya menuju ke ruang guru. Di tempat duduk saya, di dalam laci meja, saya temukan obeng yang saya maksud. Saya bergegas menuju ke kelas. Kebetulan kelas saya agak jauh, harus melewati ruang kelas III c, III d dan kelas III e . Begitu saya masuk kelas ada sedikit kegaduhan, “ada apa ini. “ Dengan lantang dan tegas saya berucap. Para siswa agak ketakutan dan suasana agak mencekam. Dengan liar mataku memandangi tiap-tiap wajah di depanku.

Tiba-tiba saja saya melihat seorang siswi yang berjalan tertatih-tatih ditolong oleh kedua temannya. “Ini pak, ini pak, Ester jatuh,”Ucap salah seorang temannya membelah kesunyian. “Iya pak, kursinya ditarik oleh Rini saat Ester akan duduk,” sahut teman-teman yang lain. “ooo …. Kataku dalam hati. “Nah, kalau begitu bawa segera ke ruang UKS.

Sampai disini ternyata buntutnya panjang. Saya harus menjelaskan kejadian tersebut kepada kepala sekolah dan beliau pun harus mempertemukan kedua orang tua pelaku dan korban kecelakaan di sekolah untuk menjelaskan duduk perkaranya. Wali kelas juga merasa tersiksa karena harus pontang-panting menghubungi wali murid tersebut.

Khusus untuk masalah ini tak banyak untuk diceritakan di sini. Yang jelas rumit dan cukup menyita banyak waktu. Yang lebih utama adalah bagaimana tindak lanjut pasca kecelakaan tersebut bagi si korban seperti yang dialami Ester Dyah Agustina ini dan bagaimana upaya kita agar kecelakaan seperti ini tidak terulang kembali.

Sehari setelah kejadian tersebut jelas dia tidak masuk sekolah. Menurut pengakuaanya, sekujur tubuhnya merasa sakit yang luar biasa melebihi rasa sakit saat terjatuh. Akhirnya dia diantar orang tuanya ke rumah sakit Dr. Haryoto Lumajang. Dari hasil rotgennya, dr. Martono (spesialis bedah dan tulang) menyarankan untuk berobat ke Jember, menemui dr. Edi Kuncoro. Di sana setelah menemui dr. Edi mendapat surat pengantar untuk menemui dr. Hamid guna rotgen ulang.

Ternyata dari hasil photo rotgennya (ada 6-8 photo), dr. Edi menyatakan memar pada bagian pantatnya sehingga mengganggu organ tubuh yang lain, seperti rasa pusing yang luar biasa pada kepala bagian belakang. Semenjak itu dia harus mendapatkan suntikan 2x sehari plus minum obat. Tidak boleh ikut olah raga, tidak boleh duduk terlalu lama harus membawa bantal khusus sebagai alas untuk duduk dan yang lebih membingungkan lagi adalah EBTA-EBTANAS sudah dekat. Kira-kira dia mendapat surat izin tidak dapat masuk sekolah dari doketr selama 1 bulan.

Pada 31 Desember 1997 kesehatannya masih tidak menentu. Oleh dr. Edi Kuntjoro disarankan untuk opname, dan…. “Dengan berat hati pak, nasehat pak Dokter tidak dapat saya jalani dan untunglah pak dokter mengabulkannya dengan syarat tiap tiga hari sekali harus suntik,” ujarnya pada saya di sebuah ruang kelas kosong karena temannya yang lain sedang berolah raga.

Saya sebagai gurunya, yang sekaligus yang mendapatkan musibah tepat pada jam saya, sudah tentu harus bertanggung jawab dan merasa berdosa apabila tidak berbuat apa-apa terhadap si korban. Itulah sebabnya secara berkala saya berusaha untuk menanyakan perihal kesehatannya. Dari pengamatan penulis, si korban masih tergolong untung karena orang tuanya cukup mampu untuk membiayai ongkos perawatan.

Sekitar April 1998 minggu ke-3 rasa sakitnya kambuh lagi sehingga dokter menyarankan untuk kontrol lagi 2 kali dalam satu minggu. Menurut dokter untuk sembuh benar seperti semula memang memakan waktu yang cukup lama dan memerlukan kesabaran untuk kontrol dengan teratur. Bagi ayahnya, yang seorang Pendeta Kristen Jawi Wetan dan ibunya yang hanya sebagai ibu rumah tangga sudah pasti menerima kenyataan tersebut sebagai cobaan dari yang maha kuasa. Apalagi si Ester ini adalah anak perempuan satu-satunya dari lima bersaudara. Dan pada akhir bulan Juni 1998 rupanya ada titik terang yang mengantarnya ke secercah harapan. Dokter mengatakan cukup 3 bulan sekali untuk kontrol.

Nah, para pembaca, dari kejadian tersebut, sebuah perbuatan iseng yang mengakibatkan penderitaan orang lain, kiranya ada beberapa hal yang perlu disimak untuk kita renungkan bersama.

Pertama : pebuatan iseng tersebut mengakibatkan seseorang menderita baik moral, material dan banyak menyita waktu. Kedua : perbuatan tersebut menimbulkan penyesalan yang mungkin tak terlupakan seumur hidup dan menimbulkan perasaan berdosa bagi pelakunya. Ketiga : agar kejadian tersebut tidak terulang lagi atau paling tidak takut untuk melakukannya, penulis berharap agar adegan-adegan di layar kaca yang menertawakan seseorang terjungkal atau tejatuh saat di ambil kursinya oleh temannya seyogyanya tidak ditayangkan sebagai bahan tertawaan tetapi harus di barengi dengan peringatan keras. Misalnya : “Awas jangan bergurau seperti ini, dapat menyebabkan gagar otak, buta dan membawa maut !”

Penulis yakin masyarakat akan banyak menaruh simpati bagi para seponsornya ( misalnya bank Jatim, andai tidak keberatan). Keempat : kejadian tersebut dapat sebagai materi pada pelajaran tertentu. Misalnya wacana untuk bahasa Indonesia, penjas atau barangkali dapat sebagai materi pemberian tugas dalam menggambar ilustrasi untuk mata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian /Seni Budaya dengan cara menggambar adegan tersebut beserta kata serunya; Kelima : apakah tidak mungkin Direktorat Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan sebuah poster yang melukiskan adegan tersebut di atas dan disebarluaskan di sekolah-sekolah. Mengingat kejadian tersebut sering terjadi kapan dan di mana saja, tapi kita tidak tahu bagaimana musibah tersebut tidak terjadi lagi.

Dari kelima hal tersebut di atas kiranya perlu mendapat perhatian khusus terhadap peristiwa yang seperti itu. Hal ini sangat penting untuk keselamatan , kenyamanan, ketertiban dan keamanan siswa di sekolah yang merupakan bagian dari program 7K dan Wawasan Wiyata Mandala yang sering kita dengung-dengungkan. Untung si Ester ini dinyatakan lulus dalam menempuh EBTA-EBTANAS dengan memperoleh Danem 37,30. Seandainya tidak ?


*Anggota PGPL (Paguyupan Guru Penulis Lumajang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar