Rabu, 23 September 2009

Masuk RSBI, Mengapa Harus takut?

Masuk RSBI, Mengapa Harus takut?
*Bambang Susanto,BA

Hingga kini penulis masih berasumsi, sangatlah tak terhitung para siswa yang berotak encer, masih tercecer di kelas-kelas reguler-enggan masuk ke kelas RSBI dan Rozanah sebagai puncak gunung ES-nya.

KIRANYA, kita masih segar dalam ingatan, bahwa ada seorang siswi tingkat SMP peraih NUN (Nilai Ujian Nasional) tertinggi se-Jawa Timur. Masih, kan? Dia adalah Rozana Cahya Kurniawati dari SMP Negeri 1 Babat. Nilainya sangat sempurna. Matematika 10, Bahasa Inggris 10. Bahasa Indonesia 10 dan IPA 10; total jumlah nilainya 40. Prestasi yang luar biasa itu ditunjang dan teruji lagi dalam kemampuannya membuat karya tulis ilmiah remaja; berhasil (bersama dengan kelompoknya) meraih juara I tingkat nasional. Sayang seribu sayang, dia tak berminat mendaftarkan diri sebagai siswa di sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (Jawa Pos, Minggu 21 Juni 2009). Ada apa gerangan?
Sementara itu, sebanyak 20 Kepala Sekolah RSBI se-Jatim mulai 1 Agustus 2009 berangkat ke Beijing memenuhi undangan Yunan Federation of Returned Overseas Chinese; yang bertujuan menjalin kerja sama peningkatan kualitas pendidikan ( Jawa Pos, Minggu 2 Agustus 2009). Keberangkatan mereka jelas merupakan indikator bahwa sekolah-sekolah yang telah berani menyandang predikat RSBI tidak spekulatif. Dalam artian , apapun resikonya, RSBI adalah tujuan yang pasti yang tak boleh ditawar-tawar lagi, apa lagi tarik ulur antara berbagai pihak yang terkait, apakah dengan: pusat, provinsi maupun tingkat daerah-harus saling bersinergi sehingga sekolah-sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah itu, nanti menjadi SBI ( bukan RSBI lagi).
Keberadaan RSBI sebenarnya didukung oleh banyak regulasi, yaitu: Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional ayat 2 dan ayat 3, PERMEN No.19 Tahun 2005, PERMEN No 19 Tahun 2005, pasal 61, ayat 1, Undang-undang no 17 Tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang Nasional Tahun 2005-2025, PERMEN No 38 Tahun 2007, PERMEN No 48 Tahun 2008, Rencana Strategi Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009, Kebijakan Depdiknas 2007, halaman 10, dan PERMENDIKNAS no 22,23, 24, Tahun 2006 dan No 6,12, 13, 16, 18, 19, 20, 24, dan 41 Tahun 2007. Isi Subtansinya dapat dipelajari dalam buku Panduan Pelaksanaan SMP Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (merupakan embrio dari SBI). Dan SBI sendiri sebenarnya adalah Sekolah Standar Nasional (SSN) yang memiliki standar tertentu yang bertaraf Internasional. Kalau boleh dirumuskan, SBI=SSN+X. Sehubungan dengan perumusan tersebut, sekolah harus berupaya mengedepankan aspek Manejemen Berbasis Sekolah (MBS), yakni: demekratis, partisipatif, transparatif, dan akuntabel.
Dari keempat aspek tersebut kalau benar-benar terimplementasikan sesuai prosedur, niscaya akan terwujud penguatan-penguatan Standar Nasional Pendidikan. Dan harus ditindaklanjuti dengan action konkrit berupa rencana Pengembangan Sekolah (RPS) yang meliputi: pengembangan akreditasi sekolah, pengembangan standar isi ( kurikulum), pengembangan standar proses dan penilaian, pengembangan kompetensi lulusan, pengembangan sarana –prasarana, pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan, pengembangan pengelolaan lembaga, pengembangan pengelolaan lembaga, pengembangan pembiayaan pendidikan, pengembangan budaya sekolah, lingkungan sekolah dan model sekolah lain. RPS ini kalau ingin selamat harus mengacu MBS tersebut di atas. Tidak boleh tidak.
Berkaitan dengan MBS dan RPS yang paling dapat dirasakan bagi siswa dan guru dalam melaksanakan PBM (Proses Belajar Mengajar) adalah “Sarana dan tenaga pendidik”, dan ini merupakan pengawal garda paling depan yang harus dipertaruhkan demi suksesnya sebuah sekolah yang berpredikat RSBI. Perlu dimaklumi, untuk sarana kelas RSBI harus tersedia : LCD, PC, laptop ( diharapkan-tidak harus, setiap siswa punya), teve, VCD player, tape recorder, speaker aktif, locker, perpustakaan dan lab. IPA mini, adanya hotspot di area sekolah, dan lain sebagainya yang menunjang faktor X.
Para gurunya pun demikian, di samping menguasai ICT, proses pembelajarannya harus billingual teaching dengan porsi: untuk mengajar kelas VII, bahasa Inggris 30 % bahasa Indonesia 70 %; kelas VIII, bahasa Inggris 50% bahasa Indonesia 50%; dan kelas IX bahasa Inggris 70 % bahasa Indonesia 30%. Kecuali mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Daerah. Ini harus benar-benar terimplementasikan dan harus tegas, kalau ingin program RSBI sukses.
Sekedar diketahui saja, pada umumnya sekolah-sekolah yang mempromosikan diri sebagai sekolah RSBI, masih menyisakan guru-guru senior ( tua-tua, maaf). Ini kendala utama yang harus ditangani dengan serius. Sebab, dan terus terang saja, bagaimanapun juga guru-guru tua kalau diikutkan dan dipaksakan mengikuti diklat dengan materi ICT dan bahasa asing (Inggris), jelas sudah tidak akan mampu lagi. Langkah terbaik adalah rekrutman guru-guru generasi berikutnya dengan usia maksimal 35 tahun.
Kepergian 20 para kepala sekolah ke Tiongkok, yang sebelumnya tahun lalu sebanyak 20 kepala sekolah pernah juga ke Turki (Termasuk kepala SMPN I Sukodono-Lumajang; kepala sekolah penulis), memang mencari bentuk-bentuk model pembelajaran sekolah lain dengan harapan, dapat diterapkan, mana-mana yang sesuai untuk diaplikasikan di sekolah-sekolah tempat habitat para kepala sekolah itu.
Sekarang permasyalahannya adalah, mengapa seorang Rozanah Cahya Kurniawati dengan perolehan NUN tertinggi, enggan masuk RSBI? Apakah di otaknya telah mereproduksi image-image, “ Eh, jangan-jangan para gurunya tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagaimana yang diamanatkan sekolah er-es-be-i.” Atau mungkin ada sebuah kegamangan, jangan-jangan pula, kelas RSBI hanya dihuni oleh anak-anak orang berduit. Kalau ini yang menghantuinya, sangatlah berlebihan, kiranya.
Sekedar tahu saja (maaf) penulis yang sudah 2 tahun berturut-turut menjadi wali kelas RSBI, menyadari dan tahu benar segala permasyalahan yang emerge ( muncul) di kelas yang menjadi tanggung jawabnya; bahwa para siswa RSBI tidak hanya terdiri dari anak-anak golongan menengah ke atas. Sama sekali tidak. Untuk masuk di kelas itu hanya satu bekal “ lulus test.” Itu saja, tanpa memandang apa status sosial calon siswa.
Tidaklah perlu dikhawatirkan, sebab keberadaan para siswa di kelas RSBI, dilindungi undang-undang, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 31 dinyatakan bahwa: (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya serta (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan Nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia.
Ini penting, bahkan Dr. Kir Harijana ( UGM) dalam acara seminar sehari yang mengupas tuntas sosialisasi pemantaban RSBI (30 Oktober 2008) ; dihadiri oleh seluruh guru SMPN 1 Sukodono, SMP SUT Lumajang dan para pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan di sebuah hotel yang cukup representatif di Lumajang menegaskan “ Sekolah dengan RSBI-nya jangan sampai menolak siswa berprestasi dari golongan anak-anak kurang mampu. Ini jangan sampai terjadi dan saya wanti-wanti betul”
Hingga kini, penulis masih berasumsi, sangatlah tak terhitung para siswa yang berotak encer, masih tercecer di kelas-kelas reguler-enggan masuk ke kelas unggulan itu; dan Rozanah sebagai puncak gunung ES-nya. Sebenarnya kehadiran para peserta didik baru yang berprestasi di kelas RSBI, sangatlah diharapkan dan kiranya merupakan sebuah penghargaan dan penghormatan yang tak terhingga bagi para kepala sekolah yang jauh-jauh studi banding ke berbagai negara. Untuk itu perlu adanya peran serta para: warga masyasrakat yang peduli akan pendidikan, Dinas Pendidikan, komite sekolah, para wakil rakyat (komisi D), komite sekolah dan institusi-institusi yang terkait lainnya. Semoga tak terulang lagi pada tahun pelajaran 2010-2011 nanti. Masuk kelas RSBI, mengapa harus takut? (Ω).

Lumajang, 7 Agustus 2009

* Anggota Paguyuban Guru Penulis Lumajang (PGPL)
(PGPL)
Telp. Rumah (0334)-891886
Rek.BRI. 33-22-1772
Alm.Jln. Semangka I/285 Lumajang 67316


Alamat e-mail yang dituju: ruang putih @ jawapos.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar