Sejenak di SMP Negeri 213 Jakarta Timur
PADA kesempatan itu (Rabu Kliwon, 8-7-2009) tepat dengan pelaksanaan pencontrengan Pilpres, saya terdampar di ibukota-Jakarta. Ke sana memang ada maksudnya. Selain mengisi liburan akhir semester dengan bersilaturahmi dengan sanak famili;ada satu hal penting yang tak boleh dikesampingkan begitu saja.
Adalah menyelamatkan harta karun yang tak ternilai, berupa buku-buku bermutu, sementara putra-putrinya sudah tidak berminat merawat dan membacanya lagi. Maklum sudah sarjana semua. Hah...?! Itulah sebagian besar karakter para intelektual muda kita. Kalau sudah lulus sarjana, merasa ilmunya mentok, sehingga tidak mau menambah ilmu dengan membaca.
Untuk itu Penulis mendapat hibah bahan bacaan tersebut. Tidak tanggung-tanggung, hampir 1 kwintal, yang berupa: buku seni/sastra, politik, ekonomi, lingkungan hidup, khasanah pengetahuan anak-anak, dictionary, ensiklopedi, ottobiografi, dan lain-lainnya..Untuk itu ke Jakarta di akhir tahun pelajaran 2009 ini tak boleh disia-siakan begitu saja.
Sungguh-sungguh melelahkan bepergian ke Jakarta dengan naik bus. Dari terminal Minak Koncar Pkl.14.00 (WIB), tiba di Jakarta kurang lebih pukul 11.00 (WIB). Betul-betul sangat menyiksa pisik dan psykhis-walaupun toh, sampai juga di tempat tujuan. Cipinang Indah. Nah, di situ tempat bersemayamnya buku-buku bermutu tinggi yang dihibahkan.
Setelah basa-basi dengan sanak famili dan menikmati rehat yang meyenangkan, langsung menuju lantai dua tempat rak-rak-tempat bersemayamnya buku-buku itu. Dan alamak...buku-buku itu memang masih duduk, tergolek, bersandar , dan berdiri tegak di tempatnya, tapi debunya melekat padat setiap inchi di keberadaannya.
Dengan masker yang telah saya persiapkan dari Lumajang: kuambil, kugapai dan kuangkat satu demi satu buku-buku itu untuk diturunkan; dan tentunya dibantu dengan mantan pacar dan seorang pembantu-langsung dijemur di terik matahari-agar kuman-kuman mati. Dan ternyata setelah diturunkan dan ditimbang mencapai hampir 1 kwintal. Setelah dekemas, uh... pihak kantor Pos tidak mau menerima; sesuai aturan maximal 30 Kg. Terpaksa deh, dibongkar lagi menjadi empat box kemasan. Yang tentunya keringat bercucuran dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Apa lagi saat itu kantor pos sangat padat dengan antrean para pensiunan untuk mengambil gajih.
Dengan via Pos akhirnya buku-buku itu bisa tertawa terbahak-bahak sampai di Lumajang, karena paket yang sampai di rumah tak sedikitpun cacat. Terima kasih Pak Pos. Nah, misi pertama telah terlaksana “ menyelamatkan buku-buku yang sekian tahun tidak digubris tuannya-menangis pilu berjamaah. Perasaan pun sedikit lega.
Ingin nyotreng di Jakarta.
Malam-malam di Jakarta terasa sangat beda dibanding dengan menikmati malam di Lumajang. Selain perbedaan temperatur udara yang mencolok, pun nyamuk-nyamuk Jakarta ternyata lebih genit. Bayangkan, untuk menepuk seekor saja terasa sangat susah. Terpaksa deh, tidur dengan obat anti nyamuk oles dan kipas angin menyala semalam suntuk. Itu syaratnya bila ingin tidur pulas di Jakarta.
Di ujung malam kedua (8 Juli 2009); ketika terdengar suara adzan bersaut-sautan antara masjid satu dengan lainnya; bergegas untuk menikmati indahnya kota Jakarta. Dan... eh, tak terasa toko-toko, kios-kios, para penjaja asong menggeliat begitu gigihnya menyambut hadirnya sang surya yang tak bosan-bosannya terbit dari ufuk timur dan bersemayam di ufuk barat. Dan setelah sarapan pagi, kami bergegas ke tempat penyontrengan yang jaraknya tak begitu jauh, cukup jalan kaki. Tidak lebih dari limabelas menit. Kami pun tiba.
Setelah tanya pada petugas, ya ampun... ternyata KTP Lumajang tidak laku untuk nyontreng di Jakarta. Terpaksa lah, pulang-tidak nyontreng. “ Ini tidak adil, ini tidak adil, bukankah ini masa liburan, banyak orang-orang bepergian ke luar kota. Sehingga berapa juta rakyat yang tidak mempunyai hak pilih karena bepergian ke luar kota?” Gumamku sambil meninggalkan tempat itu, dengan rasa kecewa.
Seorang anggota POLRI yang masih muda tiba-tiba saja menghampiriku bahkan mendampingiku. “ Sabar, sabar pak... titipkan saja suara Bapak dan Ibu di kampung Bapak” selorohnya sambil tersenyum.Maka, untuk menepis rasa kekecewaan kami, terpaksa jalan-jalan.
Dan setelah bertanya sana-sani di mana letak pasar terdekat. Hem... cukup dengan numpang microlet no 52 sampailah di pasar PERUMNAS-Klender. Wah, ternyata pasarnya tak sesuai dengan namanya, cukup megah. Tingkat Dua, ramai pula...walaupun pada saat-saat penyontrengan berlangsung.
Ingat satu-satunya kacamata hilang entah di mana; setelah menelusuri lapak-lapak berputar-putar yang tertata apik, eit...tak diduga ada seorang cewek smart berdiri di belakang dagangannya, “Kaca Mata.” Wah, ini yang aku cari sejak tadi. Tanpa banyak basa-basi, begitu cocok ukuran dan harganya, kaca mata pun sudah berpindah tanagan.
Sejenak Mampir di SMP 213 Jakarta Timur
Keluar dari los-los pasar yang mengesankan itu, melewati kios kue, kami pun membeli beberapa jenis jajanan khas Jakarta; dan oh itu kios buah-buahan yang paling aku suka. Beberapa jenis pisang nampak tergantung dan teronggok begitu saja, tapi tak satu pun jenis pisang yang menarik untuk kubeli. Ya...hanya sebuah pepaya Thailand yang sempat kubeli. Sekedar tahu saja, pepaya di Jakarta, belinya harus ditimbang. Satu kilo seharga Rp 3000,- Sebutir yang berhasil aku pilih beratnya mencapai 4 Kg. Terpaksa deh, sekedar untuk oleh-oleh, tak apalah....
Dalam perjalanan pulang menuju Duren Sawit (familiku yang kedua); dari pada menungggu mickrolet di tepi jalan, ah... lebih baik jalan kaki, itung-itung sambil olah raga jantung sehat. Kira-kira limaratus meter, jarak kami melangkah, lho itu kan gedung sekolah, sekilas terbaca olehku papan nama mungil “ SMP Negeri 213 Jakarta Timur.” Lima-enam langkah sekolah itu kami lalui, dan eh... entah kena apa, terasa ada daya magnit tersendiri untuk singgah di sekolah itu. Tanpa ragu kami masuki pintu gerbang yang tak terkunci.
Dan ...o-oi,o-oi itu ada kran PDAM. Kuputar, ternyata airnya mancur deras. Cuci muka ah.... Setelah terasa cukup segar, karena tanganku juga ikutan dibasahi; tiba-tiaba dari arah pojok depan muncul seorang Ibu setengah tua menghampiri. Kami menyapanya dengan senyum. “ Maaf Bu, saya mampir sejenak, habis jalan kaki dari pasar PERUMNAS.” “ Oh, tidak apa ... Bapak dan Ibu wali murid atau akan mendaftarkan puteranya di sini ? Desak halus Ibu itu sambil menatap kami. “ Hem...bukan, bukan, kami hanya singgah, saya juga guru, ini ibunya anak-anak juga guru. “ o...”
Tak lama , tiba-tiba perkenalan kami jadi akrab begitu saja. “ Nah, ini kesempatan bagiku untuk mengorek keberadaan sekolah ini. Lebih baikkah atau sebaliknya dibanding dengan sekolah tempat aku bekerja, SMP Negeri Sukodono? Kami pun ditawari air minum mineral dan sebagai imbalannya beberapa kue yang baru kami beli, kami sodorkan. Suasana semakin hangat.
Banyak hal yang berhasil saya peroleh, sekitar pelaksanaan: tata-tertib, EKSKUL, ruang-ruang, jumlah tenaga kependidikan, dan lain-lain. Dan yang perlu di ketahui, untuk mengorek sesuatu hal janganlah percaya pada satu sumber saja. Tak puas wawancara dengan si Ibu itu, langsung croschek pada suaminya yang kebetulan tiba saat wawancara dengan istrinya selesai.
Kami pun sempat mengambil foto-foto. Berikut hasil wawancara dengan orang-orang Jakarta yang masih berkutat di dunia pendidikan.
Berdirinya SMP Negeri 213 Jakarta Timur sejak 1982; sama dengan sekolah kita: sejak 2 Oktober 1982. Jumlah ruang belajar sebanyak 24 kelas yang diisi 40 siswa setiap kelasnya (wah, kelas reguler semua); sekolah kita 21 kelas, yang terdiri: Kelas RSBI 4 untuk tingkat I, dua RSBI untuk tingkat II, dan satu RSBI untuk tingkat terakhir, sisanya kelas reguler. Tapi ada kelebihannya juga sekolah yang baru saya kunjungi itu. Ruang guru, ruang Tata usaha, ruang Kepala sekolah, ruang perpustakaan, ruang komputer, semuanya ber- AC. Slogan dan nama ruang juga sudah menggunakan bahasa Inggris.
Jumlah SATPAM: dua orang-untuk siang hari, dan satu orang malam hari. Jumlah tenaga kependidikan sebanyak 80 orang. Sekolah tersebut adalah sekolah terbesar dari sekolah-sekolah SMP se wilayah Jakarta Timur.
Jenis EKSKUL yang ada di sekolah yang terletak di Jln. Malaka I itu, berupa: volly, bulu tangkis,Tae Kwon do, Band, Teater, dan tari Sunda. Input tertinggi untuk peserta didik baru (2009-2010), tertinggi: 288,00 dan terendah 227,50, yang meliputi mata pelajaran: IPA, BIN,dan Matematika.
Masyalah kedisiplinan, sesuai informasi yang berhasil saya korek dari salah satu tenaga kependidikan, “ Bagi semua siswa yang datang terlambat, tak peduli laki-laki atau perempuan; harus jalan berjongkok dari pintu gerbang menuju kelasnya masing masing. Onde mande.... Bagaimana kalau diterapkan di sekolah kita, setuju? Jangan dulu donk... ntar nanti para wali murid banyak yang protes.
Begitu hasil wawancara Bung Press yang jauh-jauh datang ke Jakarta “mencipta sebuah perjumpaan tak sengaja” dengan Pak Warsidi ( asli dari Sleman-Yogyakarta) dan Bu Menik ( asli dari kota Brem-Madiun); yang walaupun hanya seorang Pesuruh gajihnya sudah mencapai hampir 4 jutaan. Huh.... maklum tinggal di Jakarta.(bs)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar