Andaikata Guru Gemar Membaca
Bambang Susanto, BA
Sebagai guru kita masih dapat meluangkan waktu untuk berusaha apa saja untuk menambah penghasilan agar cepat kaya, pun masih sempat bersendau gurau pada saat jam - jam kosong dan istirahat. Sudah saatnya kita dapat menyempatkan diri untuk membaca buku- buku yang bermutu demi peningkatan kwalitas diri kita sendiri. Bila tidak, zaman yang penuh tantangan dan persaingan akan menggilas kita. Dan dengan sadar kita tahu bahwa perkembanagan dan perubahan di segala bidang telah menggurita di manapun dan kapanpun. Ini tugas kita sebagai guru kalau ingin disebut guru yang mumpuni.
Menanggapi tulisan – tulisan yang sering muncul di massmedia perihal mengapa Guru kurang tertarik untuk membaca buku? Memang ada benarnya; paling tidak ada beberapa hal yang merupakan kendala atau tidak berlebihan bila dikatakan sebagai biang kerok mengapa seorang guru malas membaca buku ( jenis – jenis buku yang bermutu yang masih atau tidak berhubungan dengan mata pelajaran yang diemban) yang menyebabkan guru jarang berkunjung ke perpustakaan , atau mungkin karena gaji guru masih kurang sehingga harus pikir – pikir untuk membeli buku. Dan keterbatasan waktu karena sibuk sendiri sehingga peluang untuk membaca buku nyaris tidak ada.
Kalau boleh , penulis menambahkan beberapa hal penyebab mengapa guru tidak gemar membaca buku ; artinya kalau malas apa penyebabnya, kalau sibuk, apa saja yang dilakukan, kalau tidak mampu beli buku apakah kerena faktor gaji? Masih perlu ditelusuri.
Benarkah Guru itu sangat sibuk ?
Pada awal tahun pelajaran para guru mau atau tidak mau harus menyiapkan perangkat mengajar yang berupa membuat kalender pendidikan, program tahunan, program semester, rincian minggu efektif, jurnal mengajar, rencana pelaksanaan pembelajaran( RPP ), merumuskan pemahaman konsep dan penerapannya, pemetaan standar kompetensi, silabus ; dan kemudian mengemplementasikan dalam kegiatan belajar mengajar, sebagai wali kelas atau guru kelas ( bagi guru SD), mengikuti rapat- rapat dinas, MGMP ; dan belum lagi harus menguasai buku materi pelajaran dan buku penunjang yang setiap tahun silih berganti dengan penerbit yang berbeda kecuali yang telah ada perjanjian kontrak dengan pihak sekolah dan tidak ada perubahan kurikulum ; beberapa hal tersebut jelas telah menyita waktu para guru. Perlu diketahui bahwa antara sekolah satu dengan yang lain tidak sama , kalau sebuah sekolah menerapkan business oriented artinya menerima siswa sebanyak mungkin, para gurunya jelas akan menerima dampak negatifnya yaitu dalam satu kelas jumlah siswanya bisa mencapai 40 – 45 anak. Ini biang keladi mengapa guru tidak ada waktu untuk membaca buku. Waktunya habis untuk mengoreksi, menganalisis, membuat laporan Mid Semester, laporan semester; belum lagi bila ada anak yang ulangan hariannya di bawah nilai standar, harus menyiapkan soal untuk yang remidi. Dari sejumlah kegiatan tersebut yang tidak boleh dilupakan adalah adanya tugas lain seperti mengikuti lomba baik akademis dan non akademis bagi guru –guru yang ditunjuk.
Tugas tambahan
Guru di samping mengajar, beberapa guru ( agar mekanisme berjalan) oleh kepala sekolah direkrut untuk menjadi WAKASEK;urusan- urusan seperti: kurikulum, kesiswaan, sarana prasarana, HUMAS, bahkan beberapa sekolah banyak guru menjadi bendaharawan gaji dan mengelola BOS ( bantuan operasional sekolah ), dan menjadi pengurus komite sekolah. Para guru jenis ini kiranya sudah tidak punya waktu lagi untuk untuk membaca buku – buku lain di samping buku materi pelajaran. Mereka tergolong lebih sibuk dan sangat sibuk dengan masalah- masalah tekhnis dan keuangan terutama urusan kurikulum, kesiswaan, bendahara gaji dan pengelola BOS. Begitu pula para wali kelas dan guru kelas juga terlalu sibuk dalam mengelola kelasnya. Rasa- rasanya tidak ada waktu untuk membaca buku. Benarkah?
Hobby ngrumpi
Dari bukti – bukti empirik yang sering dijumpai, justru guru itu ( setelah penulis menjadi guru lebih dari dua puluh lima tahun, maaf) kalau seusai mengajar, pada saat istirahat ataupun saat jam kosong masih sempat ngrumpi dengan materi yang kadar logikanya rendah, misalnya: masalah keluarga, harga kebutuhan pokok, berita infotainment , menanyakan usahanya dan lain- lain. Jarang kita temui seorang guru yang sibuk sendiri di kantor dengan membaca buku. Lebih –lebih di perpustakaan; kalau ada seorang guru sering menghabiskan waktunya di perpustakaan justru disudutkan karena kurang ada waktu bergaul dengan guru-guru lain.
Di sekolah anda, barang kali justru sering dijumpai seorang guru menghabiskan waktunya hingga lupa waktu dan kalau perlu sampai sore hari ngobrol bersama “Entah dengan siapa” dengan materi yang tidak jelas tetapi dengan tujuan yang pasti yaitu agar si Guru tersebut kelak cepat menjadi pimpinan. Dan rata-rata mereka itu cepat berhasil menjadi pimpinan. Nah, kalau calon – calon pimpinan sudah diawali dengan perilaku yang seperti itu,hal tersebut akan berlanjut terus dan virus – virusnya menyebar ke mana – mana. Barangkali itu yang dimaksud dengan budaya Paternalistik. Jadi kalau guru itu boleh dikatakan sibuk, toh kenyataannya masih banyak waktu untuk ngrumpi.
Ingin cepat kaya
Siapa yang tidak ingin kaya? Semua pasti ingin, asal melalui koridor yang syah dan tidak lupa tugas utamanya. Ditengarai para guru pada masa kini sudah banyak menyalahgunakan predikatnya sebagai seorang guru. Idealnya seorang guru itu cukup tidak cukup harus dapat mengembangkan seoptimal mungkin mata pelajaran yang diembannya apakah membuat les privat, kursus, paguyuban seni, sastra,club olah raga, LSM yang masih ada korelasinya dengan disiplin ilmunya dan lain- lain.
Namun dalam kenyataannya, seorang guru sudah banyak beralih fungsi di samping tugas utamanya lebih – lebih di luar kelayakan disiplin ilmunya. Tidak sedikit para guru menjadi petani padi dan palawija, petani tebu, pedagang emas, menjual alat tulis kantor, mendirikan toko, makelar mobil dan tanah bahkan ada yang merangkap menjadi tukang pijit. Alhasil, tidak sedikit dari hasil usaha di luar kelayakannya tersebut berhasil memperoleh tambahan penghasilan bahkan dapat untuk naik Haji; mana mungkin kalau bersumber dari gaji Guru saja dapat untuk biaya ongkos naik Haji ?
Yang menggelitik hati kecil kita sering dijumpai pula para guru yang menjual sepatu, pakaian, kosmetik hingga makanan kecil yang dapat ditenteng saat berangkat menuju sekolah dan hasilnya lumayan. Dan semuanya itu bertujuan agar dapat menambah penghasilan. Anehnya dari keuntungan hasil usahanya itu masih pikir- pikir untuk membeli buku baru; untuk baca Koran pun masih nebeng milik kantor.” Ah…. “
Terjebak pada gelar
Kini , pada umumnya para guru baik yang mengajar di tingkat TK,SD,SMP maupun tingkat SMA/SMK sudah banyak yang bergelar S1 bahkan sudah tidak sedikit yang memiliki gelar S2. Jenis Guru- guru ini pada umumnya sudah tidak tertarik lagi membaca buku. Kalaupun ada dapat dihitung dengan jari. “ Untuk apa bersusah payah membeli dan membaca buku toh kuliahnya sudah mentok” Yang seyogyanya tidak harus demikian. Justru para guru yang yang telah bergelar sarjana itu, harus menunjukkkan dirinya sebagai kaum intelektual dengan banyak membaca buku sehingga akan menjadi panutan para guru-guru yang. Kenyataannya kan tidak demikian. Hasil karya tulisnya baik yang berupa Thesis maupun Disertasi mengendap dan menumpuk begitu saja di gudang – gudang kampus dan stagnan. Ini adalah berita yang sangat buruk bagi guru masa kini.
Perlu himbauan
Agar tidak demikian , pun andai tidak keberatan penulis dengan segala kerendahan hati memberikan saran pada para pejabat yang terkait dengan masalah perbukuan dan sumber daya manusia yang berpredikat sebagai guru; bagaimana kalau seorang guru termasuk kepala sekolah ( bukankah seorang kepala sekolah juga guru yang mendapatkan tugas tambahan sebagai kepala sekolah?) dan para pejabat struktural diatasnya diwajibkan atau lebih flexible bila bersifat himbauan; setiap satu semester dapat menyelesaikan membaca sebuah buku baru yang bermutu baik buku yang masih ada korelasinya dengan bidang tugasnya maupun tidak. Ini masih langkah awal.” Sesibuk dan semalas bagaimanapun tidak adakah waktu luang untuk membaca buku? Kalau ngrumpi dan berbisnis masih sempat , mengapa membaca buku sepertinya tidak ada waktu yang disisihkan?”
Tentunya, untuk menindaklanjuti perlu restu dari KAKANWIL. Bila tidak , perilaku para guru akan lebih terpuruk jauh dari tugas yang semestinya. Kedengarannya memang terkesan aneh bila himbauan ini betul-betul diimplementasikan. “Tapi, sssst… konon di sebuah sekolah terpencil ada seorang guru yang tak bertitel koleksi bukunya banyak lho; dengan menyisihkan uang rokok setiap bulan, kalau ada mood langsung saja meluncur ke Surabaya atau Jember untuk beli buku. Alhasil pada setiap lomba; anak didiknya selalu mendapatkan nominasi. Maklum koleksi bukunya tercukupi. Mudah – mudahan penulis tidak terjangkit virus – virus yang membahayakan itu.
Lumajang, 27 Mei 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar