Jangan Tanamkan Nilai – nilai Ketidakjujuran
* Oleh: Bambang Susanto, BA
Yang telah terjadi biarlah berlalu seiring hembusan angin lembut membelai sukma.. Arungi relung hati kita yang paling dalam. Raih dan genggam erat nilai – nilai kejujuran. Kemudian, persembahkan pada anak – anak didik kita agar menjadi generasi – generasi penerus bangsa yang tangguh dan mandiri.Kelak.
Ujian Akhir Nasional dan Ujian Akhir Sekolah ( UAN dan UAS ) telah berlalu Pengumuman hasil ujian pun telah diumumkan; dengan cara : ada yang menggunakan papan pengumuman,dengan amplop tertutup, dan ada pula melalui jasa Internet.
Bagi siswa tingkat terakhir, terutama untuk SMP/MTs mempunyai hak untuk mengikuti ujian akhir; sudah barang tentu telah lolos nominasi. Kalau demikian untuk menyongsong UAN dan UAS itu perlu kemauan belajar keras. Berbagai upaya pasti telah dilakukan; apakah itu berupa les tambahan, les privat, bimbingan belajar dan tryout baik dari sekolah sendiri maupun dari institusi-institusi lain di luar sekolah..
Bagi siswa yang mampu menambah jam belajar di luar sekolah bukan masalah. Segalanya dapat diatur. Namun bagi yang tidak atau kurang mampu cukup mengikuti yang ada di sekolah saja. Tidak sedikit biaya yang dikeluarkan wali murid demi putra-putrinya. Yang penting berhasil! Itu satu-satunya harapan.
Jika dengan segala daya dan upaya telah dilakukan, baik dari pihak siswa, guru, dan wali murid ( masyarakat yang menitipkan putra-putrinya di sekolah) bersinergi, tentunya ketiga unsur tersebut berharap putra-putrinya ( siswa)-nya dapat lulus. Dan tidak sekedar lulus; kalau bisa lulus mulus, artinya dapat meraih nilai semaksimal mungkin sesuai harapan orang tua, guru utamanya kepala sekolah.
Tidak tanggung-tanggung; kepala sekolah yang memiliki otoritas tunggal berjuang dengan berbagai daya dan upaya agar kelak sekolahnya dapat mencapai posisi puncak, apakah tingkat kabupaten, provinsi kalau perlu berhasil menerobos ke tingkat Nasional. Dengan demikian kepala sekolah cepat naik daun karena dapat menopang peringkat perolehan UAN se –Kabupaten untuk berlaga di tingkat Nasional. Wouw….
Mendidik ketidakjujuran
Walaupun belum terbukti benar – tidaknya; paling tidak ada “ cucak rowo “ yang berkicau dengan nada – nada minor dan sumbang beterbangan dan hinggap di mana – mana; bahwa pada sekolah – sekolah tertentu: para guru yang mengemban mata pelajaran
yang di UAN –kan , para wali kelas, unsur- unsur urusan terutama urusan kurikulum dan WAKASEK, kusak - kusak dengan Pimpinan sekolah; menyarankan, bahkan menyuruh beberapa siswa dalam satu ruang ujian akhir untuk berperan sebagai Dewa penolong (memberikan jawaban ) bagi teman – temannya. Tentunya siswa – siswa tersebut adalah
Siswa pilihan.
Ada beberapa hal yang mendidik para peserta ujian untuk berperi laku ketidakjujuran, seperti: pengawas ruang ujian yang lemah dalam artian memberi peluang (membiarkan atau pura – pura tidak tahu) para peserta ujian untuk saling tanya , dengan dasar belas kasihan; pengawas yang omong sendiri dengan pasangannya ( walaupun sudah ada larangannya); pengawas yang ngantuk dan atau sibuk sendiri membaca koran , novel dan sejenisnya. Ini pun ada aturannya. Pengawas yang secara langsung atau tidak langsung pasti tahu adanya pembekalan seperti tersebut di atas. Sehingga di manapun si pengawas bertugas, kurang lebih berperilaku sama saat mengawasi ruang ujian; pun durasi dalam mengerjakan pada mata pelajaran tertentu yang masih terasa terlalu panjang - jelas akan memberi peluang pada siswa saling tanya.
Alih – alih demi mengejar target 100% lulus; alhasil jika dalam satu ruang didapati seorang anak yang jumlah nilai UAN- nya 27, hampir dipastikan siswa- siswa
yang satu ruang dengannya 90% sama jumlah nilainya , walau ada selisih, tidak terpaut banyak. Dan ini ocehan cucak rowo lho. Benar tidaknya ,Wallahualam.
Anehnya, justru anak yang pandai dan jujur ( tidak mau menuruti saran berupa pembekalan tadi); gara – gara setelah disarankan oleh gurunya agar memberi jawaban pada teman – temannya yang duduk di sudut kiri- kanannya, Ibu si anak ( SMP - SUT Lumajang) berang.” Kamu harus jujur! Jangan pikirkan orang lain, urusi nasibmu sendiri, agar kelak kamu lulus dengan nilai – nilai hasil otakmu sendiri, ngerti?!”
Benarkan kan, realitas di lapangan terbukti si Ibu ( orang tua murid) juga memberikan pembekalan berupa “nilai – nilai kejujuran” yang notabene benturan dengan pembekalan yang diberikan oleh unsur – unsur yang berlatar belakang pendidikan. Sangat ironis, justru dari guru lembaga pendidikan yang telah teruji kredibilitasnya menebar virus – virus ketidakjujuran kepada anak didiknya. Dan ini benar – benar terjadi; kebetulan anak si Ibu itu masih keponakan penulis sendiri. Sayang peri laku wali murid seperti si Ibu tersebut dapat dihitung dengan jari ; sebagian besar telah terjangkit virus. Nah, kalau sudah begitu kita mau berbuat apa? Capek deh….Ujung – ujungnya si Jujur tadi nilai yang diperoleh sesuai harapan sang Bunda tersayang. “Bagus, bagus….”
Celakanya anak – anak yang sehari – harinya nilainya sangat meresahkan, nilai UAN-nya melejit melebihi di atas anak –anak yang dijagokan oleh gurunya. Yang sangat mengherankan; Aski, siswa yang pernah dikirim ke BRAZIL dalam lomba Matematika, sama sekali NUN-nya tidak masuk Sepuluh besar, begitu pula beberapa yang lain. Ah, tak etis disebutkan satu per satu di sini.
Ini masih dalam satu sekolah; satu –satunya sekolah yang patut menjadi sekolah rujukan, belum ke lembaga – lembaga pendidikan yang lain lho. Akhirnya apa yang terjadi? Katakanlah Si Bengal yang malas jumlah nilai UAN- nya dua puluh sembilan. Para teman karibnya, guru, orang tua ,saudaranya bahkan tetangga – tetangganya menyarankan agar masuk saja ke SMA unggulan. Dan apa jawab si Bengal? “ Ah, enggak ah….aku memperoleh NUN sebesar itu kan hasil menyontoh jawaban si jenius itu ?! Waladallah, tersanjung dan kesandung kan?
Yang sangat memprihatinkan adalah perkembangan psychologis dan peri laku anak. Kita tahu bahwa para peserta ujian pasti mempunyai adik kelas dan mungkin adik
sendiri di rumah. Sengaja atau tidak mereka – mereka yang telah lulus ujian itu, secara berantai tentu akan menuturkan trik – trik dalam menempuh UAN dan UAS yang pernah dialaminya; akan berdampak melemahnya motivasi belajar bagi adik– adik kelasnya.
Kita sebagai pendidik barangkali sama sekali tak terpikirkan pula nasib para siswa kita yang telah lulus ujian. Mereka –mereka yang kemarin lulus ujian dan telah tumbuh dewasa, jelas akan menertawakan diri kita. Barang kali kita sudah tidak ingat lagi, pada peringatan hari guru 1996, mengambil tema “ Meningkatkan Harkat dan Martabat Guru untuk Menyukseskan Pembangunan dan Mencerdaskan Bangsa.” ( Mingguan Guru, Minggu II Desember 1996). Jelas sudah, dengan mengamati hal-hal seperti tersebut di atas sangat kontra produktif dan pengingkaran terhadap tema Hari Guru tersebut, yang tiga belas tahun yang lalu digembar-gemborkan. Sebagai sosok guru yang harus digugu dan ditiru tak berlebihan bila perbuatan seperti tersebut di atas sebagai sebuah aib.
. Akan menjadi generasi penerus yang bagaimana kelak, kalau sejak dini sudah dicekoki nilai – nilai ketidakjujuran dan ketergantungan. Hanya sekedar mengejar target dan prestise, kita korbankan salah satu prinsip hakiki: basic humanity yang universal. “Kejujuran”. Semoga tak terulang lagi untuk tahun-tahun pelajaran yang akan datang.
Lumajang, 9 Januari 2009
Alamat penulis:
Jln Semangka I no.285 lumajang.
( Anggota Paguyupan Guru Penulis Lumajang (PGPL) )
Telp. Rumah ( 0334 ) 891886 Kode pos 67316
Telp. Kantor ( 0334) 882292
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar