Kamis, 24 September 2009
Desy, Juara I Siswa Berprestasi Tingkat Kabupaten
SISWA BERPRESTASI
Rabu, 23 September 2009
Guru Perokok
Sosok guru adalah panutan bagi para siswanya. Guru yang berperilaku santun, akan ditiru oleh siswanya. Sebaliknya seorang pendidik bila berbuat kurang baik sekecil apapun, seperti kebiasaan merokok di areal sekolah; pada hal di depan pintu gerbang sudah terpampang baliho dengan huruf besar“ Anda memasuki kawasan bebas merokok.“ Toh, masih dilanggar juga, jelas akan dicontoh oleh para muridnya baik langsung maupun tidak. Berikut kisah seorang sarjana - guru Sukwan yang perokok.
Saat Ning, istri Pak guru sedang nguleg sambal, tiba – tiba suaminya datang dalam keadaan terburu – buru. “Ning, Ning, Ning...” “ Oalah cak, ada apa tho, cak, ah! kalau ngomong bikin terkejut saja, ayo, duduk dulu, duduk, duduk...memangnya ada apa tho?” Sahut Ning Atik istri Pak guru, ketus. “ Begini Ning, anak kita satu – satunya, Wulan, sudah pukul 14 kok belum datang juga. Biasanya jam sekian ini sudah tiba di rumah. Aduh bagaimana ini?”
Ning, telah selesai sambalnya. Sambil menata peralatan makan di meja makan, Ning menimpali ocehan suaminya itu. “Ya, ya, Cak, saya sudah tahu itu; mau nelpun kita tidak punya pesawat telpun, mau menyusul, ya kita tidak punya sepeda motor” “Masalahnya bukan itu Ning!” Tegas Cacak sambil menyalakan rokok kretek kesayangannya. “ Begini Ning, sekarang ini aparat Kepolisian kerja sama dengan Polisi Pamong Praja dan Dinas Pendidikan menggelar operasi yang disebut dengan operasi Budi pekerti. “ Jelas Cacak. “ Lalu apa hubungannya dengan anak kita, Wulan” Kejar Ning. “ Lho, sangat gawat Ning. Kalau anak kita sampai tertangkap oleh Polisi; wah, kita bisa celaka dan susah. Sebab kita ini bisa dipanggil oleh kepolisisan, begitu pula Bapak-Ibu gurunya ikut dipanggil juga. Urusannya bisa panjang!”
“ Aduh Gusti... memangnya anak kita salah apa ya, kalau sampai tertangkap aparat? ” Ucap Ning sambil mendudukkan pantatnya di kursi makan. “ Ya, bisa bermacam – macam, misalnya: pengaruh teman, jam kosong karena ada rapat dewan guru sehingga murid- muridnya bisa leluasa ke PS, terminal, mall dan tempat – tempat nongkrong anak remaja sehingga saat – saat jam efektif itu petugas kepolisian bisa menangkapnya.” Terang Cacak sambil menghembuskan kepulan asap rokok. “Cak,Cak tapi sampai detik ini anak kita kan baik – baik saja, kan? Tidak menampakkan tingkah laku yang nyleneh!” Desak Ning ragu – ragu.
Tiba- tiba saja dari balik pintu masuk depan rumah terdengar suara Bell sepeda “ Kring, kring, kring....” Ning dan Cacak terhenyak dan bangkit dari tempat duduknya.” Lho, itu Wulan, Wulan Cak, datang....” Ning berhambur menuju ke depan dan mengajaknya masuk dan duduk. “ Wulan, kamu tidak apa-apa kan? Dan mengapa kamu datang terlambat, cepat ceritakan Wulan...” Ucap Ning sambil menggoncang - gonjang pundak Wulan. “ Dan kamu tidak tertangkap oleh Satpol PP, kan ? “ sambung Cacak. “ Anu, anu, anu bannya bocor sehingga aku jalan kaki. Sepeda itu aku tuntun terus dari sekolah. Akan tambal ban, uang saku habis!” Jelas Wulan dengan wajah memelas.” Nah, Syukur kamu tidak tertangkap Polisi, syukur....” Ucap Cacak manggut – manggut. “ Ayo, sekarang ganti pakaian dan cepat makan....” Sambung Ning.
“ Nah, apa yang ku bilang kemarin sore, terbukti kan? Ban sepeda sudah tipis tapi kamu cuek saja. Kalau beli rokok tak mau ketinggalan, dasar!” Ketus Ning sambil melirik wajah Cacak yang giginya mulai hitam karena nikotin. “ Tapi, yang penting Wulan kan selamat tidak terjadi apa- apa kan?”
“ E,e,e...ada permasalahan lagi dan sangat mendesak Cak! Kebiasaan merokokmu itu itu lho, andai aku jadi asesor sertifikasi guru tak akan kululuskan kamu. Ntar, uang tunjangannya kau habiskan hanya untuk membakar paru –paru dan jantungmu itu. Apa lagi kebiasaan burukmu itu pasti langsung atau tidak langsung akan dicontoh oleh murid – muridmu, tahu! Ingat Cak, asap rokok yang telah kamu hisap itu jelas akan dihirup juga oleh siapapun termasuk para muridmu itu. Perokok pasif lebih berbahaya dari perokok aktif. Ah!” Kejar Ning tegas sambil membalikkan pantatnya. Cacak terpojok, akankah terus merokok?
*Anggota PGPL (Paguyupan Guru Penulis Lumajang)
Perbuatan Iseng yang Membawa Derita
*Bambang Susanto, BA
Awas, jangan bergurau seperti ini,dapat menyebabkan gegar otak, kebutaan bahkan maut yang berujung pada kematian!
Entah, sudah yang beberapa kali korban kecelakaan yang sekaligus digunakan sebagai alat bergurau sesama teman ini terjadi. Pada hal akibat dari perbuatan iseng ini dapat mengakibatkan gangguan phisik seseorang sehingga akan mengganggu aktivitas seharinya. Tidak jarang pula sang korban harus menjalani rawat inap di rumah sakit selama beberapa hari , dan jika kebetulan nasibnya sial bisa-bisa mengalami cacat seumur hidup bahkan bila tidak ketulungan maut dapat merenggutnya.
Ironisnya kejadian kecil ini sering digunakan sebagai bahan tertawaan dalam kehidupan sehari-hari hingga pada adegan-adegan komedi di Teve. Akibatnya kenyataan seperti tersebut terulang dan terulang lagi, seperti yang dialami oleh murid saya ini.
Peristiwa ini betul-betul tidak saya duga. Saya, ketika suatu hari tepatnya 4 Nopember 1997, hari selasa pon, pada jam terakhir, sebagaimana biasanya di kelas IIIb, begitu juga di kelas-kelas tiga yang lain pada bulan-bulan ini para siswa mendapat materi pelajaran praktek mengetik. Perlu dimaklumi bahwa mesin ketik yang tersedia sangatlah terbatas, sehingga para siswa harus praktek bergantian. Bagi siswa yang tidak mendapatkan mesin ketik harus sabar menunggu. Hal ini sudah saya atur sedemikian rupa agar lebih mudah mengawasi, dan dalam proses penilaian.
Tetapi bagi murid saya yang satu ini memang bernasib kurang mujur. Saat itu ada salah satu mesin ketik yang agak rewel sehingga saya perlu memperbaikinya. Dalam ingatan saya terbetik pula kalau alat untuk memperbaiki mesin ketik tersebut tertinggal di kantor guru.
Tanpa ragu saya menuju ke ruang guru. Di tempat duduk saya, di dalam laci meja, saya temukan obeng yang saya maksud. Saya bergegas menuju ke kelas. Kebetulan kelas saya agak jauh, harus melewati ruang kelas III c, III d dan kelas III e . Begitu saya masuk kelas ada sedikit kegaduhan, “ada apa ini. “ Dengan lantang dan tegas saya berucap.
Tiba-tiba saja saya melihat seorang siswi yang berjalan tertatih-tatih ditolong oleh kedua temannya. “Ini pak, ini pak, Ester jatuh,”Ucap salah seorang temannya membelah kesunyian. “Iya pak, kursinya ditarik oleh Rini saat Ester akan duduk,” sahut teman-teman yang lain. “ooo …. Kataku dalam hati. “Nah, kalau begitu bawa segera ke ruang UKS.
Sampai disini ternyata buntutnya panjang. Saya harus menjelaskan kejadian tersebut kepada kepala sekolah dan beliau pun harus mempertemukan kedua orang tua pelaku dan korban kecelakaan di sekolah untuk menjelaskan duduk perkaranya. Wali kelas juga merasa tersiksa karena harus pontang-panting menghubungi wali murid tersebut.
Khusus untuk masalah ini tak banyak untuk diceritakan di sini. Yang jelas rumit dan cukup menyita banyak waktu. Yang lebih utama adalah bagaimana tindak lanjut pasca kecelakaan tersebut bagi si korban seperti yang dialami Ester Dyah Agustina ini dan bagaimana upaya kita agar kecelakaan seperti ini tidak terulang kembali.
Sehari setelah kejadian tersebut jelas dia tidak masuk sekolah. Menurut pengakuaanya, sekujur tubuhnya merasa sakit yang luar biasa melebihi rasa sakit saat terjatuh. Akhirnya dia diantar orang tuanya ke rumah sakit Dr. Haryoto Lumajang. Dari hasil rotgennya, dr. Martono (spesialis bedah dan tulang) menyarankan untuk berobat ke Jember, menemui dr. Edi Kuncoro. Di
Ternyata dari hasil photo rotgennya (ada 6-8 photo), dr. Edi menyatakan memar pada bagian pantatnya sehingga mengganggu organ tubuh yang lain, seperti rasa pusing yang luar biasa pada kepala bagian belakang. Semenjak itu dia harus mendapatkan suntikan 2x sehari plus minum obat. Tidak boleh ikut olah raga, tidak boleh duduk terlalu lama harus membawa bantal khusus sebagai alas untuk duduk dan yang lebih membingungkan lagi adalah EBTA-EBTANAS sudah dekat. Kira-kira dia mendapat
Pada 31 Desember 1997 kesehatannya masih tidak menentu. Oleh dr. Edi Kuntjoro disarankan untuk opname, dan…. “Dengan berat hati pak, nasehat pak Dokter tidak dapat saya jalani dan untunglah pak dokter mengabulkannya dengan syarat tiap tiga hari sekali harus suntik,” ujarnya pada saya di sebuah ruang kelas kosong karena temannya yang lain sedang berolah raga.
Saya sebagai gurunya, yang sekaligus yang mendapatkan musibah tepat pada jam saya, sudah tentu harus bertanggung jawab dan merasa berdosa apabila tidak berbuat apa-apa terhadap si korban. Itulah sebabnya secara berkala saya berusaha untuk menanyakan perihal kesehatannya. Dari pengamatan penulis, si korban masih tergolong untung karena orang tuanya cukup mampu untuk membiayai ongkos perawatan.
Sekitar April 1998 minggu ke-3 rasa sakitnya kambuh lagi sehingga dokter menyarankan untuk kontrol lagi 2 kali dalam satu minggu. Menurut dokter untuk sembuh benar seperti semula memang memakan waktu yang cukup lama dan memerlukan kesabaran untuk kontrol dengan teratur. Bagi ayahnya, yang seorang Pendeta Kristen Jawi Wetan dan ibunya yang hanya sebagai ibu rumah tangga sudah pasti menerima kenyataan tersebut sebagai cobaan dari yang maha kuasa. Apalagi si Ester ini adalah anak perempuan satu-satunya dari
Nah, para pembaca, dari kejadian tersebut, sebuah perbuatan iseng yang mengakibatkan penderitaan orang lain, kiranya ada beberapa hal yang perlu disimak untuk kita renungkan bersama.
Pertama : pebuatan iseng tersebut mengakibatkan seseorang menderita baik moral, material dan banyak menyita waktu. Kedua : perbuatan tersebut menimbulkan penyesalan yang mungkin tak terlupakan seumur hidup dan menimbulkan perasaan berdosa bagi pelakunya. Ketiga : agar kejadian tersebut tidak terulang lagi atau paling tidak takut untuk melakukannya, penulis berharap agar adegan-adegan di layar kaca yang menertawakan seseorang terjungkal atau tejatuh saat di ambil kursinya oleh temannya seyogyanya tidak ditayangkan sebagai bahan tertawaan tetapi harus di barengi dengan peringatan keras. Misalnya : “Awas jangan bergurau seperti ini, dapat menyebabkan gagar otak, buta dan membawa maut !”
Penulis yakin masyarakat akan banyak menaruh simpati bagi para seponsornya ( misalnya bank Jatim, andai tidak keberatan). Keempat : kejadian tersebut dapat sebagai materi pada pelajaran tertentu. Misalnya wacana untuk bahasa
Dari kelima hal tersebut di atas kiranya perlu mendapat perhatian khusus terhadap peristiwa yang seperti itu. Hal ini sangat penting untuk keselamatan , kenyamanan, ketertiban dan keamanan siswa di sekolah yang merupakan bagian dari program 7K dan Wawasan Wiyata Mandala yang sering kita dengung-dengungkan. Untung si Ester ini dinyatakan lulus dalam menempuh EBTA-EBTANAS dengan memperoleh Danem 37,30. Seandainya tidak ?
*Anggota PGPL (Paguyupan Guru Penulis Lumajang)
Mengapa Harus Mundur?
Mengapa Harus Mundur?
* Bambang Susanto,BA
Ke depan agar para seniman lumajang memiliki wadah dan sekali gus sebagai thinktank yang disegani dan diakui eksistensinya, para seniman sendiri lah yang seyogyanya berinisiatip mengambil langkah tepat dan jitu.
Kabupaten Lumajang Abdurrahman, MSI
Hasil pemilihan suara ketua DKL masa kerja 2009-2012 dengan sistem semacam itu siapa pun tidak akan terperangah (yang hadir), bahwa itu syah dan tak menimbulkan gejolak sedikitpun bagi yang hadir di situ-semua pasrah, patuh dan menghormati semua hasil yang ditelorkan; pun pada saat diumumkannya pembentukan kepengurusan-setelah melalui sidang maraton yang sedikit mencekam di ruang yang telah disiapkan sebelumnya-semua yang hadir, tidak satu pun menunjukkan gelagat ketidakpercayaan yang minor-minor, apa lagi protes. Semua peserta nampak legowo terhadap hasil keputusan.
Baru selang beberapa hari, setelah usainya perhelatan akbar itu, beberapa seniman kaget, terhenyak dari dunia yang digumulinya. Siapa yang tidak terkejut mana kala seorang pelukis, sastrawan, dramawan, penari, pengrajin, pemain ludruk, kentrung, glipang, reog, jaran kepang, jaran slining, jaran sirut, komedi bedes bahkan seorang pengamen jalanan yang penuh tato; sedang enak-enaknya berkarya kemudian terdengar berita “ Maman munduuuur” dari ketua DKL sebelum dilantik. Cicak yang merambat erat di dinding, pun akan terpeleset dan terpelanting jatuh , menimpa tepat kepala pelukis yang sedang asyik melukis. “Apa, Maman mundur? Mengikuti jejak Teguh Ekaja dan Iskandar Syah. Apa-apaan ini, dan ulah siapa lagi ini? Kampreet!”
Menurut sekretaris DKL bayangan (aku, Mukidi), mundurnya Maman justru karena alasan “Kesibukan” di tempat dia mengabdi ( Ka.Kapora). Sangat masuk akal dan beralasan! Tapi kok tidak dulu-dulunya dikeluhkesahkan, sejak terbentuknya sebagai anggota tim formatur Itu? Namun itu adalah keputusan seseorang-sangat bersifat privasi dan harus dijunjung tinggi yang semoga saja tidak ada unsur-unsur tertentu dari pihak external yang memposisikan dia agar mundur, melepas-pasrah begitu saja sebagai ketua de-ka-el; apa lagi dalam menggelar acara itu menghabiskan dana yang tidak sedikit; di suatu tempat yang representatip bagi para seniman berkumpul-hendak menggelar acara akbar.
Tapi semua orang tahu, kok. Di tempat perhelatan itu: mata-mata liar melirik tajam ke sana ke mari, mulut-mulut berhaha-hihi, kusak-kusuk, diskusi kecil penuh arti, introspeksi diri, mengintrospeksi orang lain, dan uh... entah apa lagi yang dipergunjingkan di malam kelam terguyur hujan deras itu. Semua luluh dalam suasana “ Musyawarah Dewan Kesenian Lumajang Tahun 2009” yang baru kali pertama digelar. Dan hasilnya? Mentah, terpental dan ambyar berkeping-keping sebelum menggelinding-menggerus dan meluluhlantakkan para seniman gadungan yang masih saja genthayangan.
Tak perlu heran, ya ada, memang... beberapa seniman yang merasa di sakiti, dipecundangi, dipasung kreativitasnya oleh sebuah sistem. Itu pada periode yang telah berlalu. Dan kalau mungkin masih terasa gaungnya-berlangsung hingga kini, harus ditelusuri apa penyebabnya, siapa biang keroknya, siapa arsiteknya dan siapa pula SENGKUNI-nya. Pun mengapa pula ketua de-ka-el terpilih, tiba-tiba saja undur dari posisinya dengan cara yang sangat terhormat?
Tak perlulah gamang, andai menyibak tabir ketidaksempurnaan seseorang, demi terbentuknya sebuah institusi kesenian yang perlu diperhitungkan kehadirannya dan dapat membanggakan kita semua, baik bagi para: insan seni, pengagum seni (masyarakat), stakeholder hingga ketingkat grassroat. Pastilah merupakan kebanggan tersendiri yang tak ternilai, walau tidak harus terlalu “menohok kesalahan seseorang” secara berlebihan. Ini sangat esensial dan urgen untuk dicermati.
Sebab, Dinas Pariwisata yang telah dilikuidasi selama lima tahun, kini akan dihidupkan lagi oleh pejabat bupati yang baru Dr. Syahrajad Masdar, MA ( Suara Lumajang Fm, Lini Sepuluh, 11 Februari 2009). Keberadaan DKL yang syarat dangan berbagai kesenian yang unik-unik itu pastilah akan merupakan magnit bagi para wisatawan, baik manca negara maupun domestik. Tentu.
Ke depan-agar para seniman Lumajang memiliki wadah dan sekali gus sebagai thing tank yang disegani dan diakui ekistensinya; para seniman sendiri lah yang seyogyanya berinisiatip mengambil langkah tepat dan jitu. Bukankah pada pemilihan ketua DKL kemarin itu ada yang menduduki posisi runner up? Dialah yang semestinya berhak menduduki singgasana Ketua DKL periode 2009-2012. Bila tidak, peluang itu akan disrobot oleh orang yang diragukan eksistensinya sebagai seorang seniman sejati sekali gus mampu me-menage berbagai permasyalahan yang muncul dan substansial.
Sebab sejarah membuktikan, seorang Bambang yang diperkuat sutradara brilian Reza Aribowo, pernah membawa misi teater atas nama “daerah Lumajang” untuk berlaga di tingkat provinsi; dan berhasil membawa nama baik daerah dengan menyabet penyaji terbaik ( Malang, 2005 ) tak satu sen pun mendapat dana; baik dari DKL maupun dari Dinas Pendidikan. Pada hal, dulu, ketika pengelolaan keuangan DKL masih ditipkan di Dinas Pendidikan, Kasi kebudayaan pernah berjanji “sepenuh hati” akan membiayai sabagian dalam mengikuti festival Visualisasi Drama Fragmen di Taman Krida Budaya-Malang itu. Dan, eh...hingga kini tak kunjung didapat apa yang diharap dan digadang-gadang.... Maka jangan katakan tidak wahai para seniman. Ini sebuah tantangan dan peluang yang harus segera diwujudkan. Tolong kami, para seniman cak Ajad.
( Nama panggilan akrab bagi bupati lumajang)
Kamis-malam, 30 April 2009, di pendopo kabupaten lumajang ada momen yang tak boleh dilewatkan. Pengukuhan pengurus DKL periode 2009-2011 benar-benar diwujudkan. Ini bukti Bahwa gelagat dan hiruk-pikuk para seniman telah ditangkap oleh para stakeholder, utamanya Bupati Lumajang. Maka, mari kita isi dan perkaya khasanah seni di kota pisang agung tercinta ini.
Lumajang, 1Mei 2009
Anggota DKL, IKAISI Yogyakarta, Anggota PGPL
Jangan Tanamkan Nilai – nilai Ketidakjujuran
* Oleh: Bambang Susanto, BA
Yang telah terjadi biarlah berlalu seiring hembusan angin lembut membelai sukma.. Arungi relung hati kita yang paling dalam. Raih dan genggam erat nilai – nilai kejujuran. Kemudian, persembahkan pada anak – anak didik kita agar menjadi generasi – generasi penerus bangsa yang tangguh dan mandiri.Kelak.
Ujian Akhir Nasional dan Ujian Akhir Sekolah ( UAN dan UAS ) telah berlalu Pengumuman hasil ujian pun telah diumumkan; dengan cara : ada yang menggunakan papan pengumuman,dengan amplop tertutup, dan ada pula melalui jasa Internet.
Bagi siswa tingkat terakhir, terutama untuk SMP/MTs mempunyai hak untuk mengikuti ujian akhir; sudah barang tentu telah lolos nominasi. Kalau demikian untuk menyongsong UAN dan UAS itu perlu kemauan belajar keras. Berbagai upaya pasti telah dilakukan; apakah itu berupa les tambahan, les privat, bimbingan belajar dan tryout baik dari sekolah sendiri maupun dari institusi-institusi lain di luar sekolah..
Bagi siswa yang mampu menambah jam belajar di luar sekolah bukan masalah. Segalanya dapat diatur. Namun bagi yang tidak atau kurang mampu cukup mengikuti yang ada di sekolah saja. Tidak sedikit biaya yang dikeluarkan wali murid demi putra-putrinya. Yang penting berhasil! Itu satu-satunya harapan.
Jika dengan segala daya dan upaya telah dilakukan, baik dari pihak siswa, guru, dan wali murid ( masyarakat yang menitipkan putra-putrinya di sekolah) bersinergi, tentunya ketiga unsur tersebut berharap putra-putrinya ( siswa)-nya dapat lulus. Dan tidak sekedar lulus; kalau bisa lulus mulus, artinya dapat meraih nilai semaksimal mungkin sesuai harapan orang tua, guru utamanya kepala sekolah.
Tidak tanggung-tanggung; kepala sekolah yang memiliki otoritas tunggal berjuang dengan berbagai daya dan upaya agar kelak sekolahnya dapat mencapai posisi puncak, apakah tingkat kabupaten, provinsi kalau perlu berhasil menerobos ke tingkat Nasional. Dengan demikian kepala sekolah cepat naik daun karena dapat menopang peringkat perolehan UAN se –Kabupaten untuk berlaga di tingkat Nasional. Wouw….
Mendidik ketidakjujuran
Walaupun belum terbukti benar – tidaknya; paling tidak ada “ cucak rowo “ yang berkicau dengan nada – nada minor dan sumbang beterbangan dan hinggap di mana – mana; bahwa pada sekolah – sekolah tertentu: para guru yang mengemban mata pelajaran
yang di UAN –kan , para wali kelas, unsur- unsur urusan terutama urusan kurikulum dan WAKASEK, kusak - kusak dengan Pimpinan sekolah; menyarankan, bahkan menyuruh beberapa siswa dalam satu ruang ujian akhir untuk berperan sebagai Dewa penolong (memberikan jawaban ) bagi teman – temannya. Tentunya siswa – siswa tersebut adalah
Siswa pilihan.
Ada beberapa hal yang mendidik para peserta ujian untuk berperi laku ketidakjujuran, seperti: pengawas ruang ujian yang lemah dalam artian memberi peluang (membiarkan atau pura – pura tidak tahu) para peserta ujian untuk saling tanya , dengan dasar belas kasihan; pengawas yang omong sendiri dengan pasangannya ( walaupun sudah ada larangannya); pengawas yang ngantuk dan atau sibuk sendiri membaca koran , novel dan sejenisnya. Ini pun ada aturannya. Pengawas yang secara langsung atau tidak langsung pasti tahu adanya pembekalan seperti tersebut di atas. Sehingga di manapun si pengawas bertugas, kurang lebih berperilaku sama saat mengawasi ruang ujian; pun durasi dalam mengerjakan pada mata pelajaran tertentu yang masih terasa terlalu panjang - jelas akan memberi peluang pada siswa saling tanya.
Alih – alih demi mengejar target 100% lulus; alhasil jika dalam satu ruang didapati seorang anak yang jumlah nilai UAN- nya 27, hampir dipastikan siswa- siswa
yang satu ruang dengannya 90% sama jumlah nilainya , walau ada selisih, tidak terpaut banyak. Dan ini ocehan cucak rowo lho. Benar tidaknya ,Wallahualam.
Anehnya, justru anak yang pandai dan jujur ( tidak mau menuruti saran berupa pembekalan tadi); gara – gara setelah disarankan oleh gurunya agar memberi jawaban pada teman – temannya yang duduk di sudut kiri- kanannya, Ibu si anak ( SMP - SUT Lumajang) berang.” Kamu harus jujur! Jangan pikirkan orang lain, urusi nasibmu sendiri, agar kelak kamu lulus dengan nilai – nilai hasil otakmu sendiri, ngerti?!”
Benarkan kan, realitas di lapangan terbukti si Ibu ( orang tua murid) juga memberikan pembekalan berupa “nilai – nilai kejujuran” yang notabene benturan dengan pembekalan yang diberikan oleh unsur – unsur yang berlatar belakang pendidikan. Sangat ironis, justru dari guru lembaga pendidikan yang telah teruji kredibilitasnya menebar virus – virus ketidakjujuran kepada anak didiknya. Dan ini benar – benar terjadi; kebetulan anak si Ibu itu masih keponakan penulis sendiri. Sayang peri laku wali murid seperti si Ibu tersebut dapat dihitung dengan jari ; sebagian besar telah terjangkit virus. Nah, kalau sudah begitu kita mau berbuat apa? Capek deh….Ujung – ujungnya si Jujur tadi nilai yang diperoleh sesuai harapan sang Bunda tersayang. “Bagus, bagus….”
Celakanya anak – anak yang sehari – harinya nilainya sangat meresahkan, nilai UAN-nya melejit melebihi di atas anak –anak yang dijagokan oleh gurunya. Yang sangat mengherankan; Aski, siswa yang pernah dikirim ke BRAZIL dalam lomba Matematika, sama sekali NUN-nya tidak masuk Sepuluh besar, begitu pula beberapa yang lain. Ah, tak etis disebutkan satu per satu di sini.
Ini masih dalam satu sekolah; satu –satunya sekolah yang patut menjadi sekolah rujukan, belum ke lembaga – lembaga pendidikan yang lain lho. Akhirnya apa yang terjadi? Katakanlah Si Bengal yang malas jumlah nilai UAN- nya dua puluh sembilan. Para teman karibnya, guru, orang tua ,saudaranya bahkan tetangga – tetangganya menyarankan agar masuk saja ke SMA unggulan. Dan apa jawab si Bengal? “ Ah, enggak ah….aku memperoleh NUN sebesar itu kan hasil menyontoh jawaban si jenius itu ?! Waladallah, tersanjung dan kesandung kan?
Yang sangat memprihatinkan adalah perkembangan psychologis dan peri laku anak. Kita tahu bahwa para peserta ujian pasti mempunyai adik kelas dan mungkin adik
sendiri di rumah. Sengaja atau tidak mereka – mereka yang telah lulus ujian itu, secara berantai tentu akan menuturkan trik – trik dalam menempuh UAN dan UAS yang pernah dialaminya; akan berdampak melemahnya motivasi belajar bagi adik– adik kelasnya.
Kita sebagai pendidik barangkali sama sekali tak terpikirkan pula nasib para siswa kita yang telah lulus ujian. Mereka –mereka yang kemarin lulus ujian dan telah tumbuh dewasa, jelas akan menertawakan diri kita. Barang kali kita sudah tidak ingat lagi, pada peringatan hari guru 1996, mengambil tema “ Meningkatkan Harkat dan Martabat Guru untuk Menyukseskan Pembangunan dan Mencerdaskan Bangsa.” ( Mingguan Guru, Minggu II Desember 1996). Jelas sudah, dengan mengamati hal-hal seperti tersebut di atas sangat kontra produktif dan pengingkaran terhadap tema Hari Guru tersebut, yang tiga belas tahun yang lalu digembar-gemborkan. Sebagai sosok guru yang harus digugu dan ditiru tak berlebihan bila perbuatan seperti tersebut di atas sebagai sebuah aib.
. Akan menjadi generasi penerus yang bagaimana kelak, kalau sejak dini sudah dicekoki nilai – nilai ketidakjujuran dan ketergantungan. Hanya sekedar mengejar target dan prestise, kita korbankan salah satu prinsip hakiki: basic humanity yang universal. “Kejujuran”. Semoga tak terulang lagi untuk tahun-tahun pelajaran yang akan datang.
Lumajang, 9 Januari 2009
Alamat penulis:
Jln Semangka I no.285 lumajang.
( Anggota Paguyupan Guru Penulis Lumajang (PGPL) )
Telp. Rumah ( 0334 ) 891886 Kode pos 67316
Telp. Kantor ( 0334) 882292
Eksistensi Panorama Pagi Perlu Diperhitungkan
*Bambang Susanto, BA
Diharapkan FKPP satu-satunya lembaga yang selalu terjaga independensinya dan merupakan thing tank yang dapat memberikan input-input pada semua permasyalahan yang emerge.
Barangkali di antara pembaca ada yang masih menyempatkan diri mendengarkan radio sebelum berangkat menuju tempat kerja atau sekolah, pada pagi hari? Tentu. Dan pastikan jarum penunjuk frekuensinya di 90,7 Mhz. Nah, tepat pukul 05.45 we-i-be, seorang penyiar energik-cerdik-cekatan, dengan suara khasnya, sudah berkoar-koar di depan mick di frekuensi itu. Siapa lagi kalau bukan Mbak Jingga, pada: setiap senin hingga Jumat dan spesial pada sabtu pagi, Mbak Luna sang broadcaster-nya. Sebuah acara yang selalu ditunggu-tunggu banyak pendengar di sekitar Lumajang-Jember. Panorama Pagi.
Para pendengarnya bervariasi. Dari tukang becak, penjual nasi di warung-warung, pelajar, pegawai negeri, pengusaha, anggota legislatif, pun para pejabat teras termasuk Wabub dan Bupati lebih memilih acara itu ketimbang program-program yang ditawarkan dari radio lain. Stay tone terus-rus.... Ini berdasarkan catatan kecil para penilpun yang masuk di meja ruang penyiar; termasuk yang beropini melalu sandek dan belum lagi para pendengar pasiv; Tak terhitung.
Salah satu contoh, kalau kita menghadiri sebuah pertemuan; apakah formal maupun non formal, sering salah satu atau beberapa di antara mereka nyeletuk. “ Lho, sampeyan... pak, mas, namanya Anu... yang sering nongol di radio dalam acara Panorama Pagi, ayo... ngaku....” Sebuah cetusan hati spontan, dan itu menyebar-tersebar luas dimanapun. Berarti acara bernuansa penuh kritik-konstruktif dan budaya: santun, menyanjung serta dengan harapan dapat memberikan solusi, benar-benar milik warga, milik rakyat! “ Rugi, kalau tidak mendengarkan acara di radio Semeru itu” Seloroh cak Soenoto tukang becak, yang mangkal di depan warung pecelnya di bilangan Jalan Gajah Mada.
Maka, beberapa pendengar setianya merespon acara itu dan berniat untuk membentuk sebuah wadah konkrit. Diawali dengan pertemuan-pertemuan; di pemancingan Pak Jayus, menyusul di rumah Pak Oranye- jalan semangka, di Karang Sari-domisili Ki Aria, di Senduro -Ki Demang, dan akhir-akhir ini di Jalan Batang Hari tempat tinggal Mbak Nina ( 30 Maret 2009)
Dari lima kali pertemuan itu telah dapat diputuskan nama wadah yang dibentuk, pun kepengurusannya. Secara musyawarah-mufakat: Edy Wahono sebagai ketua, Kaswadi memikul tugas sebagai wakil ketua. Sekretaris ada dua personal: Sekretaris I-Bambang Susanto,BA dan sekretaris II-Hendrik Dwi Martono, SE, menyusul Ulil Mukarromah, SH diberi kepercayaan sebagai treasurer. Telah dibentuk juga bidang-bidang, dan siapa pula yang menanganinya tentunya sudah melalui mekanisme seperti yang diharapkan.
Rencanya, wadah yang baru dibentuk ini akan mengadakan kegiatan sosial, pernyataan ikrar bersama, kemudian jalan santai dengan Wabub dan Bupati Lumajang, dalam waktu dekat. Ke depan, lembaga ini direncanakan berbadan hukum, semacam LSM dan tidak menutup kemungkinan menjadi sebuah LSM beneran. Masih panjang jalan berkerikil tajam dan berliku untuk menuju ke sana. Dan untuk itu perlu menjaga soliditas, persamaan visi-misi. Itu pasti. Amin, pihak pengelola radio menegaskan “ Jangan sekali-kali wadah yang sudah dibentuk ini hanya sebagai sarana perselingkuhan seperti bermacam-macam paguyuban yang lain, pun jangan seperti arisan” Itu sebaiknya merupakan warning yang harus ditindak lanjuti bagi semua anggota.
Keberadaan Forum Komunikasi Panorama Pagi (FKPP) merupaka respon positif terhadap acara Panorama Pagi, sebuah program unggulan dari Radio Semeru FM. Anggotanya akan bertambah terus dan permisif-holistik. Paling tidak sedikit banyak akan dapat mempengaruhi mindset rakyat;yang selama ini hanya terwarnai oleh kebijakan-kebijakan, sehingga terkesan menerima adanya (take for granted). Diharapkan, FKPP satu-satunya institusi yang selalu terjaga independensinya sekaligus merupakan thing tank yang dapat memberikan input-input pada semua permasyalahan yang emerge di kabupaten Lumajang serta mampu memberikan jalan keluarnya sehingga outcome-nya optimal. Selamat berjuang, Bung!
* Sekretaris Panorama Pagi
DKL Oh, DKL
*Bambang Susanto, BA
Hari belum malam benar; tiba-tiba saja telepon berdering.Terpaksa volume teve kuperkecil. Istri geragapan. Acara kesayangannya “ Termehek-mehek” yang disiarkan dari salah satu stasiun teve swasta dengan berat hati didengarkan lirih, lamat-lamat. Matanya melirik sedikit geregetan. “ Ah, biarlah,” kataku dalam hati.
“Hallo, ya benar saya sendiri.”
“ Begini Pak, selama ini, ya akhir-akhir ini DKL terasa stagnan selama satu tahun, demikian pula sepertinya dimonopoli oleh beberapa gelintir orang saja. Bagaimana kalau TP2DKL kita hidupkan lagi.” Begitu terocos salah satu pendiri TP2DKL ( prematur dari DKL).
“ Ya, betul- betul, tidak salah. Kalau begitu kapan kita kontak teman-teman, dan kumpul bareng, di mana pula tempatnya?”
Di rumahku saja , nanti pukul tujuh nol-nol, malam ini teman-teman semua saya undang via telepon untuk ngrembuk ketidakberesan itu. Saya tunggu, lho!”
“ Baik, saya akan segera meluncur ke sana.”
Istriku masih nguping tak beranjak dari tempat duduknya sambil memelototi acara favoritnya, kemudian kentut.
Inilah secuil pembicaraan lewat telepon yang kemudian berlanjut pada pertemuan-pertemuan informal. Pada dasarnya substansi yang digulirkan pada setiap pertemuan itu hanya berisi ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap kepengurusan de-ka-el pada periode yang telah berlalu ( 2005-2008). Sebanyak dua belas kali pertemuan yang telah dikangkangi; penuh geliat, kritis, argumen,dan debat kusir yang membuat merah telinga, kadang-kadang.
Di rumah mana saja pertemuan itu digelar, kiranya kurang etis bila ditelanjangi di sini. Justru para dedengkot seni yang pernah dan aktif hadir pada setiap pertemuan itu, barangkali tak usahlah galau bila disebutkan satu persatu di sini. Kan itu konsekuensi logis-bagi siapa saja yang berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Mereka itu: aku sendiri, Eric Sucahyo, A’ak Abdullah Kudus, Ki Demang, Surasono Rashar, Lembu Hidayat, Reza Aribowo,, Tiko, Neneng, Setyo Budi, Machrus, Ali mustofa, Parmin, Suwarno (mantan KASI Kebudayaan), Bambang Indragiri, Ida Leman, Muchson, Adi G. Suharto, Ach. Adi, Kecik Herniadi, Rudy, Yuli Visi, Gatot Hariyoto,, Mashudan Andi, Farid, Teguh Ekaja ( menyatakan keluar dari TP2DKL dan DKL), Ali Mustofa, Ali Surachman, Dwi Eko( Gatut), Agus Wahyudianto, Purnomo, Dedik, Erik Tri W, Andi R, Farikh, Neneng Triana, Korda Bachtiar, Riyanto,, Imam Subagiyo, Ali Maxoem, Farid, Happy Nore, Nur Lailil, Surya, Rudy Darmawan.
Dari sekian banyak yang hadir itu sudah barang tentu memiliki karakteristik dan mindset, tingkat wawasan dalam bidang seni yang tidak mungkin sama, pun keperpihakan: ada yang status quo, reformis atau transformasi dari keduanya. Semula sulit ditebak. Baru setelah beberapa kali putaran, dapat diindikasi mana yang betul-betul loyal dan berdedikasi tinggi terhadap seni; dalam artian terhadap nilai-nilai berkesenian yang universal; dan bukannya keperpihakan. Perlu difahami bahwa pada setiap pertemuan itu tidak ada kata “menghujat,. Apa alagi mengungkit-ungkit” terhadap kepengurusan de-ka-el yang lalu.
Kita akui, sebenarnya TP2DKL dalam beberapa putaran hingga putaran yang terakhir ( ke-12), telah menelorkan banyak hal, diantaranya: AD/ ART, program kerja, peta seniman Lumajang, dan lain-lain. Semuanya ditayang lewat LCD yang jauh-jauh diboyong oleh A’AK CS dari Klakah ke setiap tempat meeting. Ini adalah salah satu usaha intens TP2DKL yang kiranya perlu mendapat apresiasi.
Drs Abdurrahman Msi (Minggu, 24 November 2008) mengundang teman-teman, baik dari TP2DKL maupun dari DKL. Diajak sharing di sebuah tempat yang nyaman “ Depot Srikandi” Ini adalah sebuah good will. Maka sebaiknya direspon positif.Memang ada pula yang keberatan untuk hadir karena undangan hanya via telepon, katanya. Sebenarnya dalam hal ini perlu dimaklumi, mengingat Maman ( panggilan akrab Drs Abdurrahman, Msi) termasuk orang yang super sibuk. Ada sebanyak dua puluh empat seniman yang hadir pada saat itu.
Dan berdasarkan rasa ikhlas-terlepas dari perasaan suka dan tidak suka, terbentuklah tim formatur dalam rangka musyawarah DKL yang Insya Allah akan digelar setelah HARJALU 2008. Mereka adalah: Reza Aribowo, Iskandar syah (menyatakan keluar dengan mengirim surat ke Drs.Abdurrahman, Msi), Lembu Hidayat, Gatut, Soeprayitno,, Bambang Susanto, Eric Sucahyo, Mukidi, Jangkung, Ervan Dimo, dan masih ada dua orang lagi yang masih ditimang-timang. Ada sebelas orang.Yang perlu digaris bawahi adalah berapa besar cost yang telah dikeluarkan baik dari TP2 DKL maupun dari DKL. Bagaimana andai kedua belah pihak bersekutu tanpa ada rasa dendam yang lebih “mengutamakan kemajuan seni di Lumajang.” Dan upaya-upaya itu telah dilakukan walaupun dengan mengorbankan perasaan galau yang masih membebani dari kedua belah pihak.
Pertemuan informal atau lebih tepatnya dikatakan “Pertemuan Pra Musyawarah seniman 2009” itu berjalan penuh dinamika, dimulai dari pukul 10.00 dan berakhir 13.00 ( WIB) dan berhasil menelorkan keputusan-keputusan yang seyogyanya dapat diamini bersama:
1. Akan segera menggelar musyawarah seniman.
2. Bertujuan agar para seniman tidak carut marut.
3. DKL masih terikat dengan pemerintah.
4. Anggaran masih ada saldo sebesar kurang lebih RP. 117.000.000,- ( seratus tujuh belas juta rupiah).
5. Kepengurusan harus terbentuk dulu, baru menggelar kongres, seminar dan lain sebagainya.
6. Anggaran DKL periode 2009-2011 adalah dana hibah.
7. Dana yang keluar di atas Rp.50.000.000,- (lima puluh juta) harus melalui lelang.
8. Anggaran DKL dititipkan di DISPENDIK.
9. Anggaran tiap triwulan dapat diterimakan.
10. Ada perubahan sistem.
Dari sepuluh hasil rapat informal itu, semoga telor-telornya dapat menjadi embrio dan menetas secara alami. Dan tak satupun yang kuwuken.(bs)
* Pelukis dan pengamat seni Lumajang
Andaikata Guru Gemar Membaca
Bambang Susanto, BA
Sebagai guru kita masih dapat meluangkan waktu untuk berusaha apa saja untuk menambah penghasilan agar cepat kaya, pun masih sempat bersendau gurau pada saat jam - jam kosong dan istirahat. Sudah saatnya kita dapat menyempatkan diri untuk membaca buku- buku yang bermutu demi peningkatan kwalitas diri kita sendiri. Bila tidak, zaman yang penuh tantangan dan persaingan akan menggilas kita. Dan dengan sadar kita tahu bahwa perkembanagan dan perubahan di segala bidang telah menggurita di manapun dan kapanpun. Ini tugas kita sebagai guru kalau ingin disebut guru yang mumpuni.
Menanggapi tulisan – tulisan yang sering muncul di massmedia perihal mengapa Guru kurang tertarik untuk membaca buku? Memang ada benarnya; paling tidak ada beberapa hal yang merupakan kendala atau tidak berlebihan bila dikatakan sebagai biang kerok mengapa seorang guru malas membaca buku ( jenis – jenis buku yang bermutu yang masih atau tidak berhubungan dengan mata pelajaran yang diemban) yang menyebabkan guru jarang berkunjung ke perpustakaan , atau mungkin karena gaji guru masih kurang sehingga harus pikir – pikir untuk membeli buku. Dan keterbatasan waktu karena sibuk sendiri sehingga peluang untuk membaca buku nyaris tidak ada.
Kalau boleh , penulis menambahkan beberapa hal penyebab mengapa guru tidak gemar membaca buku ; artinya kalau malas apa penyebabnya, kalau sibuk, apa saja yang dilakukan, kalau tidak mampu beli buku apakah kerena faktor gaji? Masih perlu ditelusuri.
Benarkah Guru itu sangat sibuk ?
Pada awal tahun pelajaran para guru mau atau tidak mau harus menyiapkan perangkat mengajar yang berupa membuat kalender pendidikan, program tahunan, program semester, rincian minggu efektif, jurnal mengajar, rencana pelaksanaan pembelajaran( RPP ), merumuskan pemahaman konsep dan penerapannya, pemetaan standar kompetensi, silabus ; dan kemudian mengemplementasikan dalam kegiatan belajar mengajar, sebagai wali kelas atau guru kelas ( bagi guru SD), mengikuti rapat- rapat dinas, MGMP ; dan belum lagi harus menguasai buku materi pelajaran dan buku penunjang yang setiap tahun silih berganti dengan penerbit yang berbeda kecuali yang telah ada perjanjian kontrak dengan pihak sekolah dan tidak ada perubahan kurikulum ; beberapa hal tersebut jelas telah menyita waktu para guru. Perlu diketahui bahwa antara sekolah satu dengan yang lain tidak sama , kalau sebuah sekolah menerapkan business oriented artinya menerima siswa sebanyak mungkin, para gurunya jelas akan menerima dampak negatifnya yaitu dalam satu kelas jumlah siswanya bisa mencapai 40 – 45 anak. Ini biang keladi mengapa guru tidak ada waktu untuk membaca buku. Waktunya habis untuk mengoreksi, menganalisis, membuat laporan Mid Semester, laporan semester; belum lagi bila ada anak yang ulangan hariannya di bawah nilai standar, harus menyiapkan soal untuk yang remidi. Dari sejumlah kegiatan tersebut yang tidak boleh dilupakan adalah adanya tugas lain seperti mengikuti lomba baik akademis dan non akademis bagi guru –guru yang ditunjuk.
Tugas tambahan
Guru di samping mengajar, beberapa guru ( agar mekanisme berjalan) oleh kepala sekolah direkrut untuk menjadi WAKASEK;urusan- urusan seperti: kurikulum, kesiswaan, sarana prasarana, HUMAS, bahkan beberapa sekolah banyak guru menjadi bendaharawan gaji dan mengelola BOS ( bantuan operasional sekolah ), dan menjadi pengurus komite sekolah. Para guru jenis ini kiranya sudah tidak punya waktu lagi untuk untuk membaca buku – buku lain di samping buku materi pelajaran. Mereka tergolong lebih sibuk dan sangat sibuk dengan masalah- masalah tekhnis dan keuangan terutama urusan kurikulum, kesiswaan, bendahara gaji dan pengelola BOS. Begitu pula para wali kelas dan guru kelas juga terlalu sibuk dalam mengelola kelasnya. Rasa- rasanya tidak ada waktu untuk membaca buku. Benarkah?
Hobby ngrumpi
Dari bukti – bukti empirik yang sering dijumpai, justru guru itu ( setelah penulis menjadi guru lebih dari dua puluh lima tahun, maaf) kalau seusai mengajar, pada saat istirahat ataupun saat jam kosong masih sempat ngrumpi dengan materi yang kadar logikanya rendah, misalnya: masalah keluarga, harga kebutuhan pokok, berita infotainment , menanyakan usahanya dan lain- lain. Jarang kita temui seorang guru yang sibuk sendiri di kantor dengan membaca buku. Lebih –lebih di perpustakaan; kalau ada seorang guru sering menghabiskan waktunya di perpustakaan justru disudutkan karena kurang ada waktu bergaul dengan guru-guru lain.
Di sekolah anda, barang kali justru sering dijumpai seorang guru menghabiskan waktunya hingga lupa waktu dan kalau perlu sampai sore hari ngobrol bersama “Entah dengan siapa” dengan materi yang tidak jelas tetapi dengan tujuan yang pasti yaitu agar si Guru tersebut kelak cepat menjadi pimpinan. Dan rata-rata mereka itu cepat berhasil menjadi pimpinan. Nah, kalau calon – calon pimpinan sudah diawali dengan perilaku yang seperti itu,hal tersebut akan berlanjut terus dan virus – virusnya menyebar ke mana – mana. Barangkali itu yang dimaksud dengan budaya Paternalistik. Jadi kalau guru itu boleh dikatakan sibuk, toh kenyataannya masih banyak waktu untuk ngrumpi.
Ingin cepat kaya
Siapa yang tidak ingin kaya? Semua pasti ingin, asal melalui koridor yang syah dan tidak lupa tugas utamanya. Ditengarai para guru pada masa kini sudah banyak menyalahgunakan predikatnya sebagai seorang guru. Idealnya seorang guru itu cukup tidak cukup harus dapat mengembangkan seoptimal mungkin mata pelajaran yang diembannya apakah membuat les privat, kursus, paguyuban seni, sastra,club olah raga, LSM yang masih ada korelasinya dengan disiplin ilmunya dan lain- lain.
Namun dalam kenyataannya, seorang guru sudah banyak beralih fungsi di samping tugas utamanya lebih – lebih di luar kelayakan disiplin ilmunya. Tidak sedikit para guru menjadi petani padi dan palawija, petani tebu, pedagang emas, menjual alat tulis kantor, mendirikan toko, makelar mobil dan tanah bahkan ada yang merangkap menjadi tukang pijit. Alhasil, tidak sedikit dari hasil usaha di luar kelayakannya tersebut berhasil memperoleh tambahan penghasilan bahkan dapat untuk naik Haji; mana mungkin kalau bersumber dari gaji Guru saja dapat untuk biaya ongkos naik Haji ?
Yang menggelitik hati kecil kita sering dijumpai pula para guru yang menjual sepatu, pakaian, kosmetik hingga makanan kecil yang dapat ditenteng saat berangkat menuju sekolah dan hasilnya lumayan. Dan semuanya itu bertujuan agar dapat menambah penghasilan. Anehnya dari keuntungan hasil usahanya itu masih pikir- pikir untuk membeli buku baru; untuk baca Koran pun masih nebeng milik kantor.” Ah…. “
Terjebak pada gelar
Kini , pada umumnya para guru baik yang mengajar di tingkat TK,SD,SMP maupun tingkat SMA/SMK sudah banyak yang bergelar S1 bahkan sudah tidak sedikit yang memiliki gelar S2. Jenis Guru- guru ini pada umumnya sudah tidak tertarik lagi membaca buku. Kalaupun ada dapat dihitung dengan jari. “ Untuk apa bersusah payah membeli dan membaca buku toh kuliahnya sudah mentok” Yang seyogyanya tidak harus demikian. Justru para guru yang yang telah bergelar sarjana itu, harus menunjukkkan dirinya sebagai kaum intelektual dengan banyak membaca buku sehingga akan menjadi panutan para guru-guru yang. Kenyataannya kan tidak demikian. Hasil karya tulisnya baik yang berupa Thesis maupun Disertasi mengendap dan menumpuk begitu saja di gudang – gudang kampus dan stagnan. Ini adalah berita yang sangat buruk bagi guru masa kini.
Perlu himbauan
Agar tidak demikian , pun andai tidak keberatan penulis dengan segala kerendahan hati memberikan saran pada para pejabat yang terkait dengan masalah perbukuan dan sumber daya manusia yang berpredikat sebagai guru; bagaimana kalau seorang guru termasuk kepala sekolah ( bukankah seorang kepala sekolah juga guru yang mendapatkan tugas tambahan sebagai kepala sekolah?) dan para pejabat struktural diatasnya diwajibkan atau lebih flexible bila bersifat himbauan; setiap satu semester dapat menyelesaikan membaca sebuah buku baru yang bermutu baik buku yang masih ada korelasinya dengan bidang tugasnya maupun tidak. Ini masih langkah awal.” Sesibuk dan semalas bagaimanapun tidak adakah waktu luang untuk membaca buku? Kalau ngrumpi dan berbisnis masih sempat , mengapa membaca buku sepertinya tidak ada waktu yang disisihkan?”
Tentunya, untuk menindaklanjuti perlu restu dari KAKANWIL. Bila tidak , perilaku para guru akan lebih terpuruk jauh dari tugas yang semestinya. Kedengarannya memang terkesan aneh bila himbauan ini betul-betul diimplementasikan. “Tapi, sssst… konon di sebuah sekolah terpencil ada seorang guru yang tak bertitel koleksi bukunya banyak lho; dengan menyisihkan uang rokok setiap bulan, kalau ada mood langsung saja meluncur ke Surabaya atau Jember untuk beli buku. Alhasil pada setiap lomba; anak didiknya selalu mendapatkan nominasi. Maklum koleksi bukunya tercukupi. Mudah – mudahan penulis tidak terjangkit virus – virus yang membahayakan itu.
Lumajang, 27 Mei 2007
Yang Menarik Tasyakuran dan Pleno DKL
*Bambang Susanto, BA
Hati-hati bung! Meleset sedikit saja atau lalai, kita akan terpeleset dan terjungkal; bisa saja kita semua akan diinapkan dalam “hotel prodeo”, mana kala pengelolaan yang bersangkut-paut dengan masalah pertanggungjawaban keuangan yang tidak prosedural. Mudah-mudahan tidak, jaga nama baik de-ka-el!
Undangan telah disebar; yang tak terjangkau via telpon atau sandek. Itu pasti, manakala entitas Dewan Kesenian Lumajang, yang baru saja dilantik (Keputusan Bupati Lumajang ; No. 188.45/113/427 . 12/2009; 20 April 2009) di bawah pimpinan Eric Sucahyo mengundang seluruh anggotanya. Ini patut diacungi jempol-karena yang sudah-sudah undangan hanya cukup melalui kontak person bahkan SMS saja. Walaupun tidak seluruhnya.
Masih belum begitu lama (Minggu pagi, 21-6-2009), di stadion Semeru Lumajang-ruang ganti, telah terhampar karpet merah dan tikar lipat. Nampak, Mbak Nunung (tenaga administrasi baru DKL) dibantu dua-tiga orang sibuk menyiapkan berbagai minuman dan makanan-termasuk tumpeng. Dan orang-orang mulai menyeruak masuk, kemudian duduk-ngobrol, ngalor-ngidul. Di sana-sini asap rokok mengepul, keluar dari para mulud beberapa seniman perokok.
Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 10.00 (WIB), namun yang diundang belum juga datang seluruhnya. Undangan dengan nomor surat B.009/VI/2009/DKL tertera pukul 09.00-selesai. Hanya dua puluh satu yang menunjukkan batang hidungnya; itupun termasuk satu dari tiga anggota dewan mentor: Ibu Tuti Su darsono yang sudah renta dicaplok usia. Para penasehat yang lain tidak hadir: Parmin Ras ( sedang tour ke Amerika selama tiga bulan dalam rangka promosi kesenian), Wahyudi (tidak berkenan hadir dengan alasan yang tidak jelas).
Tolah-toleh, karena yang hadir hanya sejumlah itu dari lima puluh tujuh anggota yang diundang, apa lagi detik-detik jam semakin merambat naik menuju hampir pukul sebelas; acara pun didedah. Semua yang hadir duduk bersila kecuali ibu-ibu, bersimpuh-sambil mendengarkan sambutan dari sang ketua umum. Menurutnya ada dua acara yang harus dirampungkan pada hari itu. Pertama tasyakuran dan yang kedua rapat paripurna anggota.
Untuk sesi tasyakuran (sebagai orang Jawa, tentunya) memang penting dan harus di uri-uri, semisal, upacara: pindah rumah, membuat rumah, sedekah bumi, panen padi, pethik laut, dan lain-lain selalu diperingati dengan acara yang sakral-nyeni-unik-unik; tak terkecuali pada acara penempati kantor sekretariat baru de-ka-el (walaupun masih satu atap dengan gedung stadion Semeru-tempat kantor Pemuda dan Olah raga) di jalan Gajah Mada 2 Lumajang. Syukur Alhamdullillah, pihak PEMKAB dapat memfasilitasi tempat dan sarana untuk memproses kinerja pengurus dan anggota DKL. Terima kasih. Dan mudah-mudahan tidak ada pihak-pihak lain yang menggugat keberadaannya.
Pengurus dan anggota DKL harus berbangga hati, karena baru kali ini memiliki kantor sekretariat, sehingga semua th`eth`ek beng`ek yang berkaitan dengan seni dan seniman dapat terimplementasikan sebagaimana yang diharap. Pun, kini sudah memiliki perangkat lunak, berupa: LCD, computer plus printer, camera digital, dan lain-lain. Ini sangat menunjang dan harus kita manfaatkan semaksimal dan seoptimal mungkin. Di samping itu sudah tersedia tenaga administrasi khusus yang menangani organisasi kita ini; tidak seperti yang dulu-dulu, segalanya didaulat oleh jajaran pejabat Pemkab.
Nah, tinggal kita, para seniman... mampukah kita memanfaatkan semua fasilitas itu semua? Sejauh dan sedalam mana pula resistensi kita dalam mendongkrak - memperkuat posisi salah satu institusi seni yang legitimate dan telah: diketahui, disoroti, dimata-matai, baik bottom up maupun top down. Maksudnya, kalau diundang mbok ya datang. Kalau berkenan tidak dapat hadir, minimal memberitahu apakah lewat telepon dan lebih etis lagi andai melalui surat dengan alasan yang rasional.
Pada umumnya mindset anggota masih klasik. Sibuk dengan berbagai alasan. “Diundang tidak mau datang, tidak diundang ngambeg kemudian ngrow`eng.” Ramai di belakang dan runyam. Agaknya itu tak berlebihan bila dikatakan bagai perilaku anak balita, yang sebenarnya harus sudah kita lalui dan dibuang jauh-jauh sebagai barang rongsokan yang tercampak di tong sampah.
Yang paling menarik dalam acara thanksgiving kali pertama ini-untuk menempati kantor baru; ketika detik-detik pemotongan tumpeng itu. Sang Ketua umum, tiba-tiba saja didekati dan dibisiki oleh mentor yang sudah pantas sebagai “pakar Budaya Jawa di Lumajang” ; hadirin larut dan luluh dalam suasana: iba,tersipu, tercengang, dan bangga memperhatikan ibu sesepuh itu menuntun doa.
Begini lho nak, doanya” Bismillah Hirrohman Hirrohim, niat ingsun motong tumpeng, ora motong-motong tumpeng motong sebel sengkolo kabeh, karyo mulyo raharjo, slamet-slamet-slamet, slamet saka karsane Allah. Amemayu hayuning bawono langgeng. Suro diro joyo ningrat lebur dening pangastuti // Dengan nama Allah yang maha pengasih., saya berniat motong tumpeng, tidak motong-motong tumpeng, motong semua yang sengkarut dalam hati dan pikiran., pekerjaan mulia pasti selamat, Selamat-selamat-selamat, selamat karena kehendak Allah. Menghargai pemberian dunia yang kekal. Genderang sorak kejayaan akan lebur oleh suatu kedamaian dan ketenteraman //.
Dan tiba-tiba saja mak nyus... enhong di tangan Eric Sucahyo telah memotong ujung tumpeng dan langsung diserahkan pada sesepuh kita itu. Kilatan kamera inventaris DKL yang baru dibeli pun dibidikkan pada kedua insan itu berkali-kali. Semua yang hadir terpana menyaksikan adegan dramatis itu. “ Wah, terkesan Jawa sekali, betul-betul terasa Jawa” Celetuk Gatot Hariyoto (mitra bidang sastra) yang duduk di samping kanan saya. Seluruh yang hadir serentak menyerbu hidangan yang telah lama aromanya menggoda air liur dan lidah; tertata apik di depan mata masing-masing. Kecuali yang tidak berkenan hadir. Ngaplooo, ha-ha-ha-ha ....
Pada sesi kedua; yang pemaparannya sudah menggunakan LCD (inventaris) yang masih gres, cukup hangat dengan adanya banyak kontribusi dari para anggota, yang saling berinteraksi positip terhadap pengurus. Mudah-mudahan saja senarai semua program yang telah disetujui dapat di: lihat, nikmati, hargai dan dievaluasi bersama dan bermanfaat untuk kemajuan seni di kabupaten Lumajang, dan bukannya bernuansa gimmick. Ketidaksamaan pendapat dari para anggota di institusi manapun pasti ada; lebih-lebih di tubuh DKL. Kalau beda pendapat, kalau ada penyelewengan , apakah berasal dari para anggota , pun pengurus; sekecil apapun, mari kita pecahkan bersama. Hati-hati bung! Meleset sedikit saja atau lalai, kita akan terpeleset dan terjungkal; bisa saja kita bersama-sama akan diinapkan dalam “hotel prodeo”, mana kala pengelolaan yang bersangkut-paut dengan masalah pertanggungjawaban keuangan yang tidak prosedural. Mudah-mudahan tidak, jaga nama baik de-ka-el! (**) Lumajang, 30 Juni 2009
• Anggota Paguyuban Guru Penulis Lumajang (PGPL)
• Anggota Dewan Kesenian Lumajang
Jumpa Dengan Parmin-Ras setelah dari Amerika dan Jepang.
Firstya Diyah E
SIAPA yang kenal dengan Parmin Ras? Kenal, tidak kenal? Oh ya, saya kenal… sebagian juga berkomentar, hem… itu sahabat saya, aku kenal betul dengan dia; wah, itu seniman terkenal, itu dari Condro-seniman yang sudah sangat kondaang. Tapi sebagian ada juga yang berkomentar “ Apa, Parmin Ras? Siapa ya dia, dan di mana pula tempat tinggalnya, apa pula prestasinya, saya tidak tahu, tuh…!
Nah, dari pada kita berasumsi yang ngalor-ngidul, tidak menentu, yuk ikuti wawancara saya dengan salah satu orang yang tidak harus disepelekan begitu saja. Pestasinya, khususnya dalam bidang seni yang unik-unik, seyogyanya perlu ditelusuri, dan disimak agar dapat menjadikan bahan renungan kita bersama. Sehingga kita dapat mengapresiasi, apa dan bagaimana sih, dia dalam sepak terjangnya dalam bidang yang selama ini ia geluti.
Tentunya, untuk memperoleh informasi perihal itu, harus meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran. Tak apalah, apa lagi ini tugas dari PRESTASI, sebuah media informasi sekolah yang harus kita miliki dan kita baca bersama. Ingin segera tahu, kan? Berikut hasil wawancara saya dengan Parmin Ras seniman kondang dari Condro- Pasirian (Lumajang)-Indonesia.
Oh-ya, saya dengar, anda melawat ke amerika. Dalam rangka apa sih?
Saya ke sana dalam rangka mendapat Grand award U/ Veret and Observasi seni pertunjukan di New York Amerika
Dengan siapa anda ke negeri Paman Sam?
Saya ke sana sendirian saja, tanpa teman, seorangpun.
Mengapa harus ke Amrik?
Yah, mmmm…dalam rangka Grand itu, tentunya. Karena penyelenggara Grand-nya dari Amerika.
Kapan berangkat ke sana dan kapan pula pulangnya?
Saya berangkat pada 2 Mret 2009 dan pulangnya agak molor sedikit; mestinya ti ba di Indonesia 28 Mei, maka mundur sampai 11 Juni 2009. Karena harus singgah di negeri Sakura; ya, dalam rangka misi kesenian yang saya perkenalkan ke seluruh dunia.
Kota mana saja yang anda kunjungi?
Hanya satu , New York! Itu satu-satunya yang harus saya kunjungi.
Bertemu dengan siapa saja di sana?
Saya bertemu dan disambut oleh direktur kesenian New York
Dan beberapa seniman yang menaruh respect terhadap misi kesenian yang saya bawa.
Bagaimana aktifitas sehari-harinya selama anda di Amerika?
Ha-ha, ha-ha, ha-ha…sangat menyenangkan sekali,saya di sana lebih banyak enjoy, maklum Negara yang saya kunjungi adalah Negara sekulair, sehingga siapa saja boleh berpendapat semau gue.Yng penting tidak melanggar undang-undang. Jadi happy banget tinggal di sana. Di sana saya lebih banyak nonton pertunjukan seni; dari tontonan yang paling murah hingga yang paling mahal, yaitu di teater Broadway yang sangat terkesan megah dan mewah. Tak ada lah, bandingnya kalau di Indonesia.
Yang harus diketahui, buat semua pembaca PRESTASI, bahwa saya di sana mementaskan Teater yang saya bawa jauh-jauh dari Lumajang-Indonesia, adalah “JUST A LITTLE THINGS” dan ternyata banyak mendapat respon positif yang luar biasa dari para pengagum seni di New York.
Oh ya, hampir saja saya lupa. Setelah dari New York, saya ke Washington DC, untuk mengadakan riset dan pementasan. Dan yang menarik lagi saya diberi kehomatan untuk on-air di RadioSuara Amerika (VOA). Dan setelah itu ke Jepang di kota: Tokyo 5 hari, Kyoto 2 hari dan Osaka 1 hari.
Nah pembaca PRESTASI setia, masih belum puas, atau ingin memeperoleh lebih banyak informasi tentang dia?Bolehlah main-main ke sana, dia juga punya sanggar teater juga lho. Yuk ke sana yuk….(bs)
Sejenak di SMP Negeri 213 Jakarta Timur
PADA kesempatan itu (Rabu Kliwon, 8-7-2009) tepat dengan pelaksanaan pencontrengan Pilpres, saya terdampar di ibukota-Jakarta. Ke sana memang ada maksudnya. Selain mengisi liburan akhir semester dengan bersilaturahmi dengan sanak famili;ada satu hal penting yang tak boleh dikesampingkan begitu saja.
Adalah menyelamatkan harta karun yang tak ternilai, berupa buku-buku bermutu, sementara putra-putrinya sudah tidak berminat merawat dan membacanya lagi. Maklum sudah sarjana semua. Hah...?! Itulah sebagian besar karakter para intelektual muda kita. Kalau sudah lulus sarjana, merasa ilmunya mentok, sehingga tidak mau menambah ilmu dengan membaca.
Untuk itu Penulis mendapat hibah bahan bacaan tersebut. Tidak tanggung-tanggung, hampir 1 kwintal, yang berupa: buku seni/sastra, politik, ekonomi, lingkungan hidup, khasanah pengetahuan anak-anak, dictionary, ensiklopedi, ottobiografi, dan lain-lainnya..Untuk itu ke Jakarta di akhir tahun pelajaran 2009 ini tak boleh disia-siakan begitu saja.
Sungguh-sungguh melelahkan bepergian ke Jakarta dengan naik bus. Dari terminal Minak Koncar Pkl.14.00 (WIB), tiba di Jakarta kurang lebih pukul 11.00 (WIB). Betul-betul sangat menyiksa pisik dan psykhis-walaupun toh, sampai juga di tempat tujuan. Cipinang Indah. Nah, di situ tempat bersemayamnya buku-buku bermutu tinggi yang dihibahkan.
Setelah basa-basi dengan sanak famili dan menikmati rehat yang meyenangkan, langsung menuju lantai dua tempat rak-rak-tempat bersemayamnya buku-buku itu. Dan alamak...buku-buku itu memang masih duduk, tergolek, bersandar , dan berdiri tegak di tempatnya, tapi debunya melekat padat setiap inchi di keberadaannya.
Dengan masker yang telah saya persiapkan dari Lumajang: kuambil, kugapai dan kuangkat satu demi satu buku-buku itu untuk diturunkan; dan tentunya dibantu dengan mantan pacar dan seorang pembantu-langsung dijemur di terik matahari-agar kuman-kuman mati. Dan ternyata setelah diturunkan dan ditimbang mencapai hampir 1 kwintal. Setelah dekemas, uh... pihak kantor Pos tidak mau menerima; sesuai aturan maximal 30 Kg. Terpaksa deh, dibongkar lagi menjadi empat box kemasan. Yang tentunya keringat bercucuran dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Apa lagi saat itu kantor pos sangat padat dengan antrean para pensiunan untuk mengambil gajih.
Dengan via Pos akhirnya buku-buku itu bisa tertawa terbahak-bahak sampai di Lumajang, karena paket yang sampai di rumah tak sedikitpun cacat. Terima kasih Pak Pos. Nah, misi pertama telah terlaksana “ menyelamatkan buku-buku yang sekian tahun tidak digubris tuannya-menangis pilu berjamaah. Perasaan pun sedikit lega.
Ingin nyotreng di Jakarta.
Malam-malam di Jakarta terasa sangat beda dibanding dengan menikmati malam di Lumajang. Selain perbedaan temperatur udara yang mencolok, pun nyamuk-nyamuk Jakarta ternyata lebih genit. Bayangkan, untuk menepuk seekor saja terasa sangat susah. Terpaksa deh, tidur dengan obat anti nyamuk oles dan kipas angin menyala semalam suntuk. Itu syaratnya bila ingin tidur pulas di Jakarta.
Di ujung malam kedua (8 Juli 2009); ketika terdengar suara adzan bersaut-sautan antara masjid satu dengan lainnya; bergegas untuk menikmati indahnya kota Jakarta. Dan... eh, tak terasa toko-toko, kios-kios, para penjaja asong menggeliat begitu gigihnya menyambut hadirnya sang surya yang tak bosan-bosannya terbit dari ufuk timur dan bersemayam di ufuk barat. Dan setelah sarapan pagi, kami bergegas ke tempat penyontrengan yang jaraknya tak begitu jauh, cukup jalan kaki. Tidak lebih dari limabelas menit. Kami pun tiba.
Setelah tanya pada petugas, ya ampun... ternyata KTP Lumajang tidak laku untuk nyontreng di Jakarta. Terpaksa lah, pulang-tidak nyontreng. “ Ini tidak adil, ini tidak adil, bukankah ini masa liburan, banyak orang-orang bepergian ke luar kota. Sehingga berapa juta rakyat yang tidak mempunyai hak pilih karena bepergian ke luar kota?” Gumamku sambil meninggalkan tempat itu, dengan rasa kecewa.
Seorang anggota POLRI yang masih muda tiba-tiba saja menghampiriku bahkan mendampingiku. “ Sabar, sabar pak... titipkan saja suara Bapak dan Ibu di kampung Bapak” selorohnya sambil tersenyum.Maka, untuk menepis rasa kekecewaan kami, terpaksa jalan-jalan.
Dan setelah bertanya sana-sani di mana letak pasar terdekat. Hem... cukup dengan numpang microlet no 52 sampailah di pasar PERUMNAS-Klender. Wah, ternyata pasarnya tak sesuai dengan namanya, cukup megah. Tingkat Dua, ramai pula...walaupun pada saat-saat penyontrengan berlangsung.
Ingat satu-satunya kacamata hilang entah di mana; setelah menelusuri lapak-lapak berputar-putar yang tertata apik, eit...tak diduga ada seorang cewek smart berdiri di belakang dagangannya, “Kaca Mata.” Wah, ini yang aku cari sejak tadi. Tanpa banyak basa-basi, begitu cocok ukuran dan harganya, kaca mata pun sudah berpindah tanagan.
Sejenak Mampir di SMP 213 Jakarta Timur
Keluar dari los-los pasar yang mengesankan itu, melewati kios kue, kami pun membeli beberapa jenis jajanan khas Jakarta; dan oh itu kios buah-buahan yang paling aku suka. Beberapa jenis pisang nampak tergantung dan teronggok begitu saja, tapi tak satu pun jenis pisang yang menarik untuk kubeli. Ya...hanya sebuah pepaya Thailand yang sempat kubeli. Sekedar tahu saja, pepaya di Jakarta, belinya harus ditimbang. Satu kilo seharga Rp 3000,- Sebutir yang berhasil aku pilih beratnya mencapai 4 Kg. Terpaksa deh, sekedar untuk oleh-oleh, tak apalah....
Dalam perjalanan pulang menuju Duren Sawit (familiku yang kedua); dari pada menungggu mickrolet di tepi jalan, ah... lebih baik jalan kaki, itung-itung sambil olah raga jantung sehat. Kira-kira limaratus meter, jarak kami melangkah, lho itu kan gedung sekolah, sekilas terbaca olehku papan nama mungil “ SMP Negeri 213 Jakarta Timur.” Lima-enam langkah sekolah itu kami lalui, dan eh... entah kena apa, terasa ada daya magnit tersendiri untuk singgah di sekolah itu. Tanpa ragu kami masuki pintu gerbang yang tak terkunci.
Dan ...o-oi,o-oi itu ada kran PDAM. Kuputar, ternyata airnya mancur deras. Cuci muka ah.... Setelah terasa cukup segar, karena tanganku juga ikutan dibasahi; tiba-tiaba dari arah pojok depan muncul seorang Ibu setengah tua menghampiri. Kami menyapanya dengan senyum. “ Maaf Bu, saya mampir sejenak, habis jalan kaki dari pasar PERUMNAS.” “ Oh, tidak apa ... Bapak dan Ibu wali murid atau akan mendaftarkan puteranya di sini ? Desak halus Ibu itu sambil menatap kami. “ Hem...bukan, bukan, kami hanya singgah, saya juga guru, ini ibunya anak-anak juga guru. “ o...”
Tak lama , tiba-tiba perkenalan kami jadi akrab begitu saja. “ Nah, ini kesempatan bagiku untuk mengorek keberadaan sekolah ini. Lebih baikkah atau sebaliknya dibanding dengan sekolah tempat aku bekerja, SMP Negeri Sukodono? Kami pun ditawari air minum mineral dan sebagai imbalannya beberapa kue yang baru kami beli, kami sodorkan. Suasana semakin hangat.
Banyak hal yang berhasil saya peroleh, sekitar pelaksanaan: tata-tertib, EKSKUL, ruang-ruang, jumlah tenaga kependidikan, dan lain-lain. Dan yang perlu di ketahui, untuk mengorek sesuatu hal janganlah percaya pada satu sumber saja. Tak puas wawancara dengan si Ibu itu, langsung croschek pada suaminya yang kebetulan tiba saat wawancara dengan istrinya selesai.
Kami pun sempat mengambil foto-foto. Berikut hasil wawancara dengan orang-orang Jakarta yang masih berkutat di dunia pendidikan.
Berdirinya SMP Negeri 213 Jakarta Timur sejak 1982; sama dengan sekolah kita: sejak 2 Oktober 1982. Jumlah ruang belajar sebanyak 24 kelas yang diisi 40 siswa setiap kelasnya (wah, kelas reguler semua); sekolah kita 21 kelas, yang terdiri: Kelas RSBI 4 untuk tingkat I, dua RSBI untuk tingkat II, dan satu RSBI untuk tingkat terakhir, sisanya kelas reguler. Tapi ada kelebihannya juga sekolah yang baru saya kunjungi itu. Ruang guru, ruang Tata usaha, ruang Kepala sekolah, ruang perpustakaan, ruang komputer, semuanya ber- AC. Slogan dan nama ruang juga sudah menggunakan bahasa Inggris.
Jumlah SATPAM: dua orang-untuk siang hari, dan satu orang malam hari. Jumlah tenaga kependidikan sebanyak 80 orang. Sekolah tersebut adalah sekolah terbesar dari sekolah-sekolah SMP se wilayah Jakarta Timur.
Jenis EKSKUL yang ada di sekolah yang terletak di Jln. Malaka I itu, berupa: volly, bulu tangkis,Tae Kwon do, Band, Teater, dan tari Sunda. Input tertinggi untuk peserta didik baru (2009-2010), tertinggi: 288,00 dan terendah 227,50, yang meliputi mata pelajaran: IPA, BIN,dan Matematika.
Masyalah kedisiplinan, sesuai informasi yang berhasil saya korek dari salah satu tenaga kependidikan, “ Bagi semua siswa yang datang terlambat, tak peduli laki-laki atau perempuan; harus jalan berjongkok dari pintu gerbang menuju kelasnya masing masing. Onde mande.... Bagaimana kalau diterapkan di sekolah kita, setuju? Jangan dulu donk... ntar nanti para wali murid banyak yang protes.
Begitu hasil wawancara Bung Press yang jauh-jauh datang ke Jakarta “mencipta sebuah perjumpaan tak sengaja” dengan Pak Warsidi ( asli dari Sleman-Yogyakarta) dan Bu Menik ( asli dari kota Brem-Madiun); yang walaupun hanya seorang Pesuruh gajihnya sudah mencapai hampir 4 jutaan. Huh.... maklum tinggal di Jakarta.(bs)
Masuk RSBI, Mengapa Harus takut?
*Bambang Susanto,BA
Hingga kini penulis masih berasumsi, sangatlah tak terhitung para siswa yang berotak encer, masih tercecer di kelas-kelas reguler-enggan masuk ke kelas RSBI dan Rozanah sebagai puncak gunung ES-nya.
KIRANYA, kita masih segar dalam ingatan, bahwa ada seorang siswi tingkat SMP peraih NUN (Nilai Ujian Nasional) tertinggi se-Jawa Timur. Masih, kan? Dia adalah Rozana Cahya Kurniawati dari SMP Negeri 1 Babat. Nilainya sangat sempurna. Matematika 10, Bahasa Inggris 10. Bahasa Indonesia 10 dan IPA 10; total jumlah nilainya 40. Prestasi yang luar biasa itu ditunjang dan teruji lagi dalam kemampuannya membuat karya tulis ilmiah remaja; berhasil (bersama dengan kelompoknya) meraih juara I tingkat nasional. Sayang seribu sayang, dia tak berminat mendaftarkan diri sebagai siswa di sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (Jawa Pos, Minggu 21 Juni 2009). Ada apa gerangan?
Sementara itu, sebanyak 20 Kepala Sekolah RSBI se-Jatim mulai 1 Agustus 2009 berangkat ke Beijing memenuhi undangan Yunan Federation of Returned Overseas Chinese; yang bertujuan menjalin kerja sama peningkatan kualitas pendidikan ( Jawa Pos, Minggu 2 Agustus 2009). Keberangkatan mereka jelas merupakan indikator bahwa sekolah-sekolah yang telah berani menyandang predikat RSBI tidak spekulatif. Dalam artian , apapun resikonya, RSBI adalah tujuan yang pasti yang tak boleh ditawar-tawar lagi, apa lagi tarik ulur antara berbagai pihak yang terkait, apakah dengan: pusat, provinsi maupun tingkat daerah-harus saling bersinergi sehingga sekolah-sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah itu, nanti menjadi SBI ( bukan RSBI lagi).
Keberadaan RSBI sebenarnya didukung oleh banyak regulasi, yaitu: Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional ayat 2 dan ayat 3, PERMEN No.19 Tahun 2005, PERMEN No 19 Tahun 2005, pasal 61, ayat 1, Undang-undang no 17 Tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang Nasional Tahun 2005-2025, PERMEN No 38 Tahun 2007, PERMEN No 48 Tahun 2008, Rencana Strategi Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009, Kebijakan Depdiknas 2007, halaman 10, dan PERMENDIKNAS no 22,23, 24, Tahun 2006 dan No 6,12, 13, 16, 18, 19, 20, 24, dan 41 Tahun 2007. Isi Subtansinya dapat dipelajari dalam buku Panduan Pelaksanaan SMP Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (merupakan embrio dari SBI). Dan SBI sendiri sebenarnya adalah Sekolah Standar Nasional (SSN) yang memiliki standar tertentu yang bertaraf Internasional. Kalau boleh dirumuskan, SBI=SSN+X. Sehubungan dengan perumusan tersebut, sekolah harus berupaya mengedepankan aspek Manejemen Berbasis Sekolah (MBS), yakni: demekratis, partisipatif, transparatif, dan akuntabel.
Dari keempat aspek tersebut kalau benar-benar terimplementasikan sesuai prosedur, niscaya akan terwujud penguatan-penguatan Standar Nasional Pendidikan. Dan harus ditindaklanjuti dengan action konkrit berupa rencana Pengembangan Sekolah (RPS) yang meliputi: pengembangan akreditasi sekolah, pengembangan standar isi ( kurikulum), pengembangan standar proses dan penilaian, pengembangan kompetensi lulusan, pengembangan sarana –prasarana, pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan, pengembangan pengelolaan lembaga, pengembangan pengelolaan lembaga, pengembangan pembiayaan pendidikan, pengembangan budaya sekolah, lingkungan sekolah dan model sekolah lain. RPS ini kalau ingin selamat harus mengacu MBS tersebut di atas. Tidak boleh tidak.
Berkaitan dengan MBS dan RPS yang paling dapat dirasakan bagi siswa dan guru dalam melaksanakan PBM (Proses Belajar Mengajar) adalah “Sarana dan tenaga pendidik”, dan ini merupakan pengawal garda paling depan yang harus dipertaruhkan demi suksesnya sebuah sekolah yang berpredikat RSBI. Perlu dimaklumi, untuk sarana kelas RSBI harus tersedia : LCD, PC, laptop ( diharapkan-tidak harus, setiap siswa punya), teve, VCD player, tape recorder, speaker aktif, locker, perpustakaan dan lab. IPA mini, adanya hotspot di area sekolah, dan lain sebagainya yang menunjang faktor X.
Para gurunya pun demikian, di samping menguasai ICT, proses pembelajarannya harus billingual teaching dengan porsi: untuk mengajar kelas VII, bahasa Inggris 30 % bahasa Indonesia 70 %; kelas VIII, bahasa Inggris 50% bahasa Indonesia 50%; dan kelas IX bahasa Inggris 70 % bahasa Indonesia 30%. Kecuali mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Daerah. Ini harus benar-benar terimplementasikan dan harus tegas, kalau ingin program RSBI sukses.
Sekedar diketahui saja, pada umumnya sekolah-sekolah yang mempromosikan diri sebagai sekolah RSBI, masih menyisakan guru-guru senior ( tua-tua, maaf). Ini kendala utama yang harus ditangani dengan serius. Sebab, dan terus terang saja, bagaimanapun juga guru-guru tua kalau diikutkan dan dipaksakan mengikuti diklat dengan materi ICT dan bahasa asing (Inggris), jelas sudah tidak akan mampu lagi. Langkah terbaik adalah rekrutman guru-guru generasi berikutnya dengan usia maksimal 35 tahun.
Kepergian 20 para kepala sekolah ke Tiongkok, yang sebelumnya tahun lalu sebanyak 20 kepala sekolah pernah juga ke Turki (Termasuk kepala SMPN I Sukodono-Lumajang; kepala sekolah penulis), memang mencari bentuk-bentuk model pembelajaran sekolah lain dengan harapan, dapat diterapkan, mana-mana yang sesuai untuk diaplikasikan di sekolah-sekolah tempat habitat para kepala sekolah itu.
Sekarang permasyalahannya adalah, mengapa seorang Rozanah Cahya Kurniawati dengan perolehan NUN tertinggi, enggan masuk RSBI? Apakah di otaknya telah mereproduksi image-image, “ Eh, jangan-jangan para gurunya tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagaimana yang diamanatkan sekolah er-es-be-i.” Atau mungkin ada sebuah kegamangan, jangan-jangan pula, kelas RSBI hanya dihuni oleh anak-anak orang berduit. Kalau ini yang menghantuinya, sangatlah berlebihan, kiranya.
Sekedar tahu saja (maaf) penulis yang sudah 2 tahun berturut-turut menjadi wali kelas RSBI, menyadari dan tahu benar segala permasyalahan yang emerge ( muncul) di kelas yang menjadi tanggung jawabnya; bahwa para siswa RSBI tidak hanya terdiri dari anak-anak golongan menengah ke atas. Sama sekali tidak. Untuk masuk di kelas itu hanya satu bekal “ lulus test.” Itu saja, tanpa memandang apa status sosial calon siswa.
Tidaklah perlu dikhawatirkan, sebab keberadaan para siswa di kelas RSBI, dilindungi undang-undang, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 31 dinyatakan bahwa: (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya serta (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan Nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia.
Ini penting, bahkan Dr. Kir Harijana ( UGM) dalam acara seminar sehari yang mengupas tuntas sosialisasi pemantaban RSBI (30 Oktober 2008) ; dihadiri oleh seluruh guru SMPN 1 Sukodono, SMP SUT Lumajang dan para pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan di sebuah hotel yang cukup representatif di Lumajang menegaskan “ Sekolah dengan RSBI-nya jangan sampai menolak siswa berprestasi dari golongan anak-anak kurang mampu. Ini jangan sampai terjadi dan saya wanti-wanti betul”
Hingga kini, penulis masih berasumsi, sangatlah tak terhitung para siswa yang berotak encer, masih tercecer di kelas-kelas reguler-enggan masuk ke kelas unggulan itu; dan Rozanah sebagai puncak gunung ES-nya. Sebenarnya kehadiran para peserta didik baru yang berprestasi di kelas RSBI, sangatlah diharapkan dan kiranya merupakan sebuah penghargaan dan penghormatan yang tak terhingga bagi para kepala sekolah yang jauh-jauh studi banding ke berbagai negara. Untuk itu perlu adanya peran serta para: warga masyasrakat yang peduli akan pendidikan, Dinas Pendidikan, komite sekolah, para wakil rakyat (komisi D), komite sekolah dan institusi-institusi yang terkait lainnya. Semoga tak terulang lagi pada tahun pelajaran 2010-2011 nanti. Masuk kelas RSBI, mengapa harus takut? (Ω).
Lumajang, 7 Agustus 2009
* Anggota Paguyuban Guru Penulis Lumajang (PGPL)
(PGPL)
Telp. Rumah (0334)-891886
Rek.BRI. 33-22-1772
Alm.Jln. Semangka I/285 Lumajang 67316
Alamat e-mail yang dituju: ruang putih @ jawapos.co.id