SAYA tertarik pada berita VOA (Sabtu, 24 Maret 2012) tentang pelanggaran HAM berat di China. Dikatakannya, oleh seorang dokter yang mendapat suaka politik, bahwa para Napi yang telah dijatuhi hukuman mati (kebanyakan kaum religious), organ tubuhnya diambil untuk donor cangkok. Tapi, dikatakannya pula pernyataan dokter tersebut hanya untuk mendapatkan suaka politik. Pernyataan dokter itu, saya yakin tak dibuat-buat. Banyak pelanggaran berat yang dilakukan oleh penguasa China. Siapapun yang berseberangan dengan pemerintah, dibungkam, dan dihabisi demi kelanggengan sebuah kekuasaan.
Setelah saya amati selama bertahun-tahun, kejadian di China itu, ternyata ada benang merah dengan yang terjadi di Indonesia pada Th. 1965-1966. Seorang dokter, sebut saja H.B (67 tahun), warga RT O4 RW 02 Kelurahan Kepuharjo, Kabupaten Lumajang- Jawa Timur. Pernah bertutur pada saya, bahwa kaum Komunis (PKI) dan simpatisannya (1965-1966) dihakimi masa, tanpa proses peradilan sedikitpun. Di mana-mana: di sungai, di persawahan, di perkebunan, di tepi-tepi pantai, di sungai-sungai, jurang-jurang, sumur-sumur; banyak ditemukan mayat-mayat.
Saya sebagai RT di tempat yang sama (lulusan IKIP Negeri Surabaya 1976) jurusan Seni-Rupa. Dulu ketika saya masih kuliah, dalam mata kuliah Menggambar Bentuk, oleh dozen diberi objek tengkorak kepala manusia. Katanya tengkorak itu asli. Jangan-jangan…? Maka, saya pikir fenomena di China dan Indonesia pada zaman ORBA sama saja. Pelanggaran HAM berat tak satu pun yang tersentuh hukum. Bagaimana bisa tersentuh, apalagi terjerat? Sebab yang melakukan pelanggaran HAM berat itu penguasa dan para pelaku di lapangan itu atas restu penguasa? Mana mungkin penguasa menghukum dirinya sendiri. Seperti halnya pelanggaran HAM di China, menghabisi lawan-lawan politiknya?!